Di sore yang mendung, Indah duduk termenung di bangku taman kampus yang biasa menjadi tempatnya dan Oniel menghabiskan waktu bersama. Angin bertiup perlahan, membawa aroma rumput basah setelah hujan gerimis.Indah memandang ke arah jalan setapak di mana Oniel sering berjalan di sisinya, tetapi akhir-akhir ini, jalan itu terasa kosong, sepi—seperti hatinya. Dua minggu sudah sejak Oniel mulai menjauh tanpa alasan jelas. Dia tidak lagi muncul di kelas, tidak ada pesan atau sapaan seperti biasanya.
Indah menahan air mata yang menggenang di sudut matanya. Bagaimana mungkin seseorang yang begitu dekat, tiba-tiba menjadi begitu jauh? Rasanya ada firasat yang berat, perasaan bahwa sesuatu terjadi—sesuatu yang Oniel sembunyikan darinya. Tapi dia tak tahu apa, dan ketidakpastian itu semakin menyakitkan.
Lulu, Olla, Marsha, dan Khatrina selalu mencoba menyemangatinya. Mereka tahu ada yang salah, tapi Indah terlalu tenggelam dalam pikirannya sendiri untuk berbagi cerita.
Suatu hari, saat makan siang bersama, Marsha tiba-tiba berseru, “Eh, Indah, kamu serius nggak mau cerita? Jangan bikin kami nebak-nebak dong!”
Lulu menambahkan dengan nada lembut, “Iya, kalau kamu ada masalah, kita di sini buat dengerin kok. Kamu nggak sendirian.”
Indah hanya tersenyum lemah. “Bukan kalian, aku... aku cuma bingung aja. Oniel tiba-tiba berubah, menjauh tanpa alasan jelas.”
Olla yang biasanya tenang pun tak bisa menahan diri. “Kamu udah tanya langsung ke dia?”
Indah menggeleng, mengaduk makanannya tanpa semangat. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Aku takut... mungkin ada yang lebih buruk dari yang aku kira.”
Semua terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Indah. Tapi Marsha, yang tak pernah bisa melihat suasana terlalu serius, menepuk pundak Indah dengan keras. “Ya ampun, kalau kamu terus-terusan galau kayak gini, nanti kita bawa kamu ke Oniel sekarang juga, lho! Kita serbu aja dia bareng-bareng, gimana?”
Yang lain tertawa, tapi di balik candaannya, Indah tahu mereka sungguh peduli. Meskipun khawatir, Indah akhirnya memutuskan bahwa dia harus menghadapi Oniel, apapun hasilnya.
Hari itu, setelah kelas terakhir, Indah mencari Oniel di studio seni, tempat di mana dia biasanya melukis atau menggambar sketsa.
Saat Indah sampai, suasana studio begitu sunyi. Di pojok ruangan, terlihat Oniel duduk di depan kanvas kosong, kuas di tangannya terhenti seolah-olah pikiran yang penuh menghalanginya untuk mencipta. Indah merasa jantungnya berdetak lebih cepat saat melangkah mendekat.
“Oniel...” panggilnya pelan, hampir seperti bisikan.
Oniel menoleh, terkejut melihat Indah di sana. Ada kelelahan yang jelas terlihat di matanya, sesuatu yang belum pernah Indah lihat sebelumnya. “Indah...” suaranya terdengar serak.
“Aku mau bicara,” Indah mulai, duduk di kursi sebelahnya. Tangannya gemetar, tapi dia tahu ini satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban. “Kenapa kamu tiba-tiba menjauh? Ada apa?”
Oniel menghela napas panjang, menatap ke arah jendela seolah mencari kekuatan di luar sana. “Maaf, Indah. Aku nggak bermaksud bikin kamu bingung atau terluka, tapi... aku nggak tahu bagaimana cara mengatakannya.”
Indah menatapnya, perasaan campur aduk antara takut dan harapan. “Bilang aja, Oniel. Apapun itu, aku lebih baik tahu daripada terus bertanya-tanya.”
Oniel menggenggam tangan Indah perlahan, tatapannya penuh rasa bersalah. “Aku harus pergi. Ada masalah di keluargaku, dan aku mungkin nggak bisa kembali dalam waktu dekat. Aku nggak tahu kapan atau apakah aku bisa kembali ke sini.”
Perasaan Indah seolah runtuh mendengar kata-kata itu. “Kenapa kamu nggak bilang dari awal?”
Oniel menunduk, menghindari tatapan Indah. “Aku nggak mau kamu terluka. Aku pikir, kalau aku menjauh, itu akan lebih mudah buatmu.”
“Lebih mudah?” Indah hampir tertawa meskipun hatinya terasa sakit. “Oniel, nggak tahu apa-apa malah bikin semuanya lebih sulit.”
“Aku cuma nggak mau kamu merasa harus menungguku, sementara aku sendiri nggak tahu kapan bisa kembali,” Oniel berkata dengan nada putus asa. “Aku nggak mau membuatmu terjebak dalam ketidakpastian.”
Indah menggenggam tangan Oniel lebih erat, menahan air mata yang akhirnya jatuh. “Tapi kamu nggak bisa memutuskan itu sendirian, Oniel. Kita bisa menghadapi ini bersama kalau kamu mau terbuka.”
Oniel terdiam lama, menatap ke arah kanvas kosong di depannya. “Aku takut... aku takut kamu akan pergi.”
Mereka terjebak dalam keheningan yang berat, sampai tiba-tiba pintu studio terbuka dengan keras. Olla, Lulu, Marsha, dan Khatrina masuk dengan penuh semangat, tampaknya sudah cukup lama menguping. Lulu berseru dengan penuh kemenangan, “Aha! Kami dengar semuanya!”
Marsha melangkah maju dengan penuh drama. “Oniel, dengar baik-baik! Kalau kamu pikir dengan pergi begitu aja bakal bikin Indah lebih baik, kamu salah besar!”
Khatrina, yang biasanya tenang, mengangguk penuh semangat. “Iya, dan kalau kalian nggak jadian sekarang, kami bakal bikin hidup kalian berdua jadi lebih rumit!”
Olla menambahkan dengan serius, “Dan percaya deh, kami jago dalam hal bikin drama.”
Indah menutupi wajahnya, setengah malu setengah tertawa. “Kalian kok bisa muncul di saat kayak gini?”
Lulu, sambil tertawa, berkata, “Kita nggak akan biarin kamu hadapi ini sendirian. Ini masalah besar, jadi kita ikut campur.”
Oniel yang awalnya terlihat tegang, akhirnya tertawa kecil mendengar celotehan mereka. Suasana yang tadinya serius berubah lebih ringan, meskipun masalah belum sepenuhnya terselesaikan.
Oniel menatap Indah, senyumnya lebih tulus sekarang. “Mungkin mereka benar. Aku nggak seharusnya memutuskan ini sendirian.”
Indah mengangguk pelan, matanya mulai berbinar. “Kita bisa coba. Mungkin jaraknya akan berat, tapi aku nggak takut selama kita sama-sama jujur.”
Oniel menghela napas lega. “Aku mencintaimu, Indah. Itu yang ingin aku katakan selama ini. Aku hanya terlalu takut mengatakannya karena aku merasa nggak adil untukmu.”
Indah tersenyum lebar, air matanya kini jatuh karena kebahagiaan. “Aku juga mencintaimu, Oniel. Dan aku rela menunggu selama apapun itu, asal kita sama-sama.”
Teman-teman mereka langsung bersorak riang, melompat ke arah mereka dan memeluk Indah dan Oniel dengan heboh. “Akhirnya! Ini baru namanya momen bahagia!” teriak Marsha penuh semangat.
“Jangan khawatir, Indah. Kalau Oniel pergi, kita tetap ada di sini buat kamu,” kata Khatrina sambil menepuk pundaknya dengan senyum.
Hari itu, meskipun awalnya penuh kesedihan dan ketakutan, Indah dan Oniel akhirnya menemukan keberanian untuk mengungkapkan perasaan mereka yang selama ini terpendam. Mereka tahu bahwa perjalanan di depan tidak akan mudah, tapi dengan cinta dan kejujuran, mereka yakin bisa melewati semua bersama.
--End--