Indah duduk di bangku taman sekolah, membiarkan angin sore menyapu lembut wajahnya. Di sekelilingnya, tawa teman-teman sekelas terdengar samar-samar, namun hatinya sedang berada di tempat lain. Matanya menatap lurus ke depan, meskipun pikirannya melayang jauh, terjebak di antara keraguan dan perasaan yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Oniel, sahabatnya sejak SMP, telah lama menjadi bagian dari hidupnya. Mereka selalu bersama—belajar, bercanda, dan melewati hari-hari penuh keseruan sebagai remaja. Namun, akhir-akhir ini, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Indah mulai merasakan bahwa persahabatan mereka tidak lagi sama. Ada perasaan hangat yang sering muncul setiap kali Oniel tersenyum padanya, atau ketika mereka tanpa sadar saling menatap lebih lama dari biasanya.
Sore itu, Oniel datang dengan langkah tenang, membawa sebuah buku di tangannya. Indah langsung mengenali buku itu—sebuah novel yang pernah mereka diskusikan. Mereka memang sering berbagi rekomendasi buku, tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam cara Oniel mendekat.
"Indah, kamu masih suka duduk di sini sendirian?" Oniel duduk di sampingnya tanpa menunggu jawaban. Dia tersenyum, senyum yang selalu membuat Indah merasa nyaman. "Kamu kelihatan melamun. Ada yang lagi kamu pikirkan?"
Indah menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk tetap tenang. "Nggak ada, cuma lagi pengen sendiri sebentar. Kebetulan sore ini sepi, jadi enak buat santai."
Oniel menatap Indah dengan penuh perhatian, seolah ingin mengatakan sesuatu yang lebih dari sekadar basa-basi. "Kita udah lama nggak ngobrol, ya?" tanyanya sambil membuka buku yang dibawanya, meskipun jelas dia tidak benar-benar berniat membacanya.
Indah tersenyum tipis. "Iya, kita sama-sama sibuk belakangan ini. Ujian makin dekat, dan aku harus fokus belajar."
"Aku tahu," kata Oniel pelan. "Tapi ada yang beda, Indah. Kamu kayaknya menjauh akhir-akhir ini. Ada yang salah?"
Pertanyaan itu menembus hati Indah. Dia selalu berusaha menghindari momen seperti ini—momen di mana perasaannya yang sebenarnya mungkin terungkap. Namun, kali ini, dia tak bisa menghindar. Ada sesuatu dalam tatapan Oniel yang membuatnya merasa harus jujur, meskipun kata-kata itu sulit diucapkan.
“Oniel, aku... aku nggak tahu gimana harus bilang,” Indah mulai berbicara dengan suara pelan. “Aku cuma takut. Takut kalau semuanya berubah.”
Oniel terdiam sejenak, seakan memberi ruang bagi Indah untuk melanjutkan. "Berubah gimana?" tanyanya lembut.
Indah menatap langit, berharap bisa menemukan jawabannya di sana. "Aku takut kita nggak bisa jadi teman seperti dulu lagi. Ada perasaan yang aku pendam, dan aku nggak tahu apa itu, tapi rasanya membuat aku ragu setiap kali kita ketemu."
Oniel mengerutkan kening, tampak bingung sekaligus penasaran. "Perasaan apa, Indah?"
Indah menghela napas panjang. Inilah saatnya. “Aku... aku rasa aku mulai suka sama kamu, Oniel. Bukan hanya sebagai teman, tapi lebih dari itu.” Kata-kata itu akhirnya terucap, dan Indah merasa seakan beban berat yang selama ini dia bawa perlahan menghilang. Namun, di saat yang sama, ada ketakutan yang menyelip di hatinya—takut bagaimana Oniel akan merespons.
Oniel terdiam. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun, tapi matanya tetap menatap Indah, seakan mencari kepastian dari setiap kata yang barusan dia dengar. Hening menyelimuti mereka selama beberapa detik, yang terasa seperti selamanya bagi Indah.
Akhirnya, Oniel berbicara, suaranya tenang namun penuh makna. "Aku juga merasa ada yang berubah, Indah. Aku cuma nggak tahu harus bilang apa. Aku takut kalau aku bilang sesuatu, kamu bakal menjauh, atau malah merasa aneh."
Indah menatap Oniel, terkejut sekaligus lega mendengar pengakuannya. "Jadi... kamu juga ngerasain hal yang sama?"
Oniel mengangguk pelan. "Iya, aku ngerasain hal yang sama. Tapi aku nggak tahu gimana caranya. Kita udah terlalu lama jadi teman, dan aku nggak mau merusak itu."
Indah mengerti sepenuhnya. Mereka berdua berada di posisi yang sama—terjebak antara persahabatan yang begitu berharga dan perasaan cinta yang mulai tumbuh. Perasaan yang, jika salah langkah, bisa menghancurkan semuanya.
"Tapi Oniel," Indah berkata dengan suara pelan, "bukankah kita nggak bisa selamanya berpura-pura kalau nggak ada yang berubah? Kalau perasaan ini terus kita pendam, mungkin kita malah semakin menjauh."
Oniel menatap Indah, lalu tersenyum kecil. "Kamu benar. Mungkin sudah waktunya kita jujur sama diri kita sendiri."
Mereka duduk dalam keheningan, membiarkan angin sore membawa perasaan mereka yang akhirnya terungkap. Untuk pertama kalinya, tidak ada lagi kebingungan, tidak ada lagi keraguan. Mereka tahu bahwa apa pun yang akan terjadi, mereka akan menghadapinya bersama.
---
Beberapa minggu setelah pengakuan itu, hubungan Indah dan Oniel mulai berubah secara perlahan. Mereka masih sering menghabiskan waktu bersama, tetapi kini ada perasaan hangat yang selalu menyelimuti mereka setiap kali mereka saling memandang. Teman-teman mereka mulai menyadari perubahan itu, meskipun tidak ada yang berani bertanya secara langsung.
Olla, salah satu teman dekat Indah, akhirnya tidak tahan untuk bertanya. “Indah, aku lihat kalian berdua semakin dekat. Apa kalian... ada sesuatu yang lebih dari sekadar sahabat?”
Indah tersenyum malu. "Mungkin. Aku juga nggak tahu harus bilang apa. Kami berdua masih coba memahami semuanya."
Olla tertawa kecil. “Jadi, udah ada yang jadian atau belum?”
Indah menggeleng. "Belum. Kami nggak buru-buru. Kami cuma pengen memastikan kalau kami siap untuk melangkah lebih jauh."
Oniel, yang mendengar percakapan itu, datang mendekat dan duduk di samping Indah. "Kami nggak mau terburu-buru, Oll. Biar waktu yang nentuin," katanya sambil tersenyum pada Indah, senyum yang selalu membuat hati Indah berdebar.
Olla mengangguk, seakan setuju dengan keputusan mereka. "Yang penting kalian bahagia. Kalau butuh waktu, ya nggak apa-apa. Yang penting jangan sampai perasaan kalian terabaikan."
Hari-hari berlalu, dan Indah mulai merasakan cinta yang tumbuh semakin kuat di dalam hatinya. Setiap momen yang dia habiskan bersama Oniel, meskipun hanya sekadar duduk diam atau berbagi cerita sederhana, terasa begitu berharga. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai, tetapi mereka siap untuk menjalaninya bersama.
Suatu sore, di tempat yang sama di taman sekolah, Oniel tiba-tiba menggenggam tangan Indah dengan lembut. "Indah, aku tahu ini semua mungkin terasa rumit, tapi aku yakin satu hal. Aku ingin kita terus seperti ini—saling mendukung, saling mengerti, dan berjalan bersama."
Indah tersenyum bahagia. "Aku juga ingin hal yang sama, Oniel. Dua hati, satu cinta, dan kita jalani semuanya bersama."
Mereka saling menatap, membiarkan cinta yang selama ini mereka pendam tumbuh dengan perlahan namun pasti. Dan di bawah langit senja yang indah, Indah dan Oniel tahu bahwa apa pun yang terjadi di masa depan, mereka akan selalu bersama—dua hati yang kini terikat oleh satu cinta yang tulus dan murni.