Yang Tak Terduga

204 23 3
                                    


Kathrina duduk di tepi jendela kamarnya, memandang keluar dengan tatapan kosong. Rumah besar yang ia tinggali sejak kecil itu terasa lebih sunyi akhir-akhir ini. Dua kakaknya, Indah dan Marsha, sudah jarang berada di rumah karena sibuk dengan pekerjaan mereka sebagai dokter muda. Kathrina sendiri, baru saja menyelesaikan studinya di fakultas kedokteran dan sedang bersiap-siap untuk magang di rumah sakit tempat ibunya bekerja.

Pikirannya melayang jauh, memikirkan Gitara. Sejak kecil, mereka selalu bersama. Gitara, atau yang akrab ia panggil Gita, adalah bagian dari hidupnya. Ibunya sering bercanda bahwa Kathrina lebih dekat dengan Gita dibanding dengan keluarganya sendiri. Itu mungkin tidak sepenuhnya salah, mengingat sejak bayi, Gitara yang selalu ada di sisinya. Ibu Gita, Bu Rini, adalah pengasuhnya. Dan sejak kecil, Gita selalu menemani setiap langkahnya—entah bermain di taman, belajar bersama, atau hanya berbagi cerita di beranda belakang rumah.

Namun, semuanya berubah saat mereka remaja. Perasaan yang semula hanya sebatas persahabatan berubah menjadi sesuatu yang lebih rumit, lebih dalam. Mereka saling jatuh cinta, dan bagi Kathrina, itu adalah hal yang sangat wajar. Gita bukan hanya teman masa kecilnya, dia adalah seseorang yang membuatnya merasa hidup.

Tetapi kenyataannya tidak semudah itu.





















Suatu sore, saat mereka berdua duduk di ayunan tua di belakang rumah, Gita tiba-tiba menatapnya dalam-dalam. "Kath, kita harus bicara."

Kathrina menoleh, sedikit terkejut dengan nada serius di suara Gita. "Kenapa? Ada apa kak?"

Gita menghela napas panjang, memandang ke depan, ke arah pohon-pohon yang daunnya berwarna jingga diterpa matahari senja. "Aku rasa... sudah waktunya kita beritahu keluarga kita."

Sekuat tenaga Kathrina menahan rasa gelisah yang tiba-tiba menghampiri. Ia tahu bahwa pada titik ini, mereka tak bisa terus menyembunyikan hubungan mereka. Lima tahun. Lima tahun sudah sejak mereka mulai menjalin cinta secara diam-diam. Hanya kedua kakaknya, Indah dan Marsha, yang tahu. Keduanya mendukung dengan sepenuh hati, meski mereka juga paham risiko besar yang bisa muncul jika ayah Kathrina, Pak Wijaya, mengetahui hal ini.

"Kamu yakin sekarang saatnya kak?" Kathrina bertanya pelan.

Gita menoleh padanya, matanya menunjukkan tekad yang kuat. "Kath, kita nggak bisa terus kayak gini. Aku sayang kamu, dan aku nggak mau hubungan kita terus sembunyi-sembunyi."

Kathrina mengangguk, walau hatinya berkecamuk. Ia tahu Gita benar. Namun, bayangan wajah ayahnya yang keras membuatnya ragu.

Malam itu, Kathrina berbicara dengan kakak-kakaknya. Seperti biasa, Indah dan Marsha memberikan dukungan penuh. "Kamu nggak bisa terus-terusan hidup dalam bayang-bayang, Kath. Ini hidupmu, bukan hidup Ayah," ujar Indah dengan tegas.

Marsha mengangguk setuju. "Kita bakal bantu sebisa mungkin, tapi kamu dan Gita harus siap menghadapi kenyataan."

Keesokan harinya, Gita dan Kathrina akhirnya memutuskan untuk memberitahu orang tua mereka.

Di ruang tamu yang megah, Pak Wijaya duduk di kursinya dengan ekspresi tegas, sementara Ibu Anna, ibu Kathrina, hanya duduk tenang di sampingnya. Di sisi lain, Gita dan Kathrina berdiri berdampingan, tangan mereka saling menggenggam erat, seolah-olah mencoba memberi kekuatan satu sama lain.

"Jadi, apa yang ingin kalian sampaikan?" suara Pak Wijaya terdengar dingin.

Kathrina menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Ayah, Ibu... aku dan Kak Gita... kami saling mencintai. Dan kami ingin menjalani hubungan yang lebih serius."

Untuk beberapa detik, keheningan menyelimuti ruangan. Pak Wijaya menatap mereka berdua dengan pandangan yang sulit diartikan. Kemudian, ia bangkit dari kursinya dengan wajah memerah.

"Cinta? Hubungan yang lebih serius?" suaranya naik satu oktaf. "Kamu tahu siapa dia, Kathrina? Dia anak pembantu di rumah ini! Bagaimana bisa kamu bahkan berpikir untuk menjalin hubungan dengan seseorang yang jauh di bawah kita?"

Hati Kathrina hancur mendengar kata-kata ayahnya. Ia tahu ini akan sulit, tapi tidak pernah membayangkan akan sekeras ini.

Gita diam, menunduk, wajahnya pucat. Sementara Ibu Anna, yang selama ini selalu tampak tenang, hanya bisa menatap putrinya dengan mata penuh kesedihan. Ia tidak berkata apa-apa, seolah-olah takut menambah panas suasana.

"Ayah, aku..." Kathrina mencoba menjelaskan, tapi Pak Wijaya memotongnya.

"Tidak ada tapi! Aku tidak akan pernah menyetujui hubungan ini. Selama aku masih hidup, kamu tidak akan pernah menikahi dia!" tegasnya sebelum pergi meninggalkan ruangan dengan langkah cepat.

Kathrina berdiri kaku, air mata mulai menggenang di matanya. Di sampingnya, Gita mencoba menenangkan, tapi ia tahu, ini bukan sesuatu yang bisa dengan mudah diperbaiki.

Ibu Anna mendekati mereka, wajahnya penuh simpati. "Kath, Git, maafkan Ayah kalian. Ia hanya ingin yang terbaik untukmu, Kath."

"Tapi, Bu, ini hidupku. Aku yang akan menjalaninya, bukan Ayah," suara Kathrina pecah.

Ibu Anna menghela napas. "Aku tahu. Aku tahu, sayang. Kalau saja aku bisa melakukan lebih banyak... Tapi kamu tahu Ayahmu."

Ia tak bisa berbuat apa-apa. Sementara itu, Gita tahu, pertarungan mereka baru saja dimulai.

Dreams of TogethernessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang