Renacana Masa Depan

36 11 0
                                    


Sejak percakapan mereka dengan Indah dan Marsha, Gita dan Kathrina semakin yakin bahwa mereka berada di jalur yang benar. Meski perjalanan menuju pernikahan masih panjang, mereka berdua sadar bahwa hal terpenting adalah membangun fondasi yang kuat—baik dari segi emosional maupun finansial. Gita semakin giat bekerja di usahanya, dan Kathrina fokus menyelesaikan studinya di bidang kedokteran.

Suatu sore, Kathrina sedang duduk di ruang tengah rumahnya, meneliti beberapa materi untuk kuliahnya ketika ponselnya berdering. Itu Gita.

"Hai, Kak Git. Ada apa?" tanya Kathrina, tersenyum mendengar suara kekasihnya.

"Kath, kamu ada waktu buat ketemu sebentar? Ada sesuatu yang pengen aku omongin."

Kathrina merasa ada sesuatu yang penting dari nada suara Gita. "Oke, aku bisa. Di mana kita ketemu?"

"Di tempat biasa, kafe kecil dekat kampus kamu."

Setelah bersiap-siap, Kathrina berangkat menuju kafe yang sering mereka datangi. Sesampainya di sana, ia melihat Gita sudah menunggu di salah satu meja di pojok, wajahnya tampak serius namun tetap tenang.

"Ada apa? Kamu kelihatan tegang kak," tanya Kathrina sambil duduk.

Gita menghela napas, lalu mulai berbicara. "Aku baru aja ketemu dengan seorang investor yang tertarik buat mendanai usaha aku. Mereka bilang usahaku punya potensi, tapi mereka butuh jaminan bahwa aku bisa memenuhi target yang mereka tetapkan."

Kathrina mengerutkan kening, merasa penasaran. "Jadi, apa yang mereka minta dari kamu?"

"Mereka minta aku memperluas usaha lebih cepat dari rencana awal. Itu berarti aku harus mempekerjakan lebih banyak orang dan mengurus lebih banyak hal dalam waktu singkat," jelas Gita, suaranya terdengar cemas. "Masalahnya, aku takut kalau ini terlalu cepat. Aku nggak mau gagal karena ambisi berlebihan."

Kathrina merenung sejenak sebelum menjawab. "Memang kedengarannya besar, tapi kalau investor percaya sama kamu kak, berarti mereka melihat potensi yang besar juga. Kamu cuma perlu memastikan bahwa kamu siap dengan tanggung jawab itu."

Gita mengangguk, meskipun masih terlihat ragu. "Itu yang bikin aku khawatir. Aku pengin sukses, tapi aku juga nggak mau kehilangan fokus pada hal-hal lain, terutama kita."

Kathrina meraih tangan Gita di atas meja, menatapnya penuh pengertian. "Kak Git, kita udah bareng-bareng lama. Aku ngerti kalau sekarang kamu butuh fokus untuk mengembangkan bisnis kamu, dan aku mendukung itu. Kita akan tetap baik-baik saja selama kita tetap jujur satu sama lain dan berusaha bersama-sama."

Gita tersenyum kecil, rasa lega mulai meresap ke dalam dirinya. "Kamu bener, Kath. Aku nggak bisa biarin rasa takut menghalangi kesempatan ini."

Kathrina mengangguk sambil tersenyum. "Yang penting, kita jalani semua ini dengan kepala dingin. Kalau kamu merasa beban terlalu berat, jangan ragu untuk bilang. Kita bisa menghadapi ini bareng-bareng."

Setelah percakapan itu, Gita memutuskan untuk menerima tawaran investor dan mulai memperluas usahanya dengan lebih percaya diri. Ia sadar bahwa kesempatan seperti ini tidak datang dua kali, dan dengan dukungan Kathrina serta kakak-kakaknya, ia merasa mampu menghadapi tantangan yang ada.

Dalam beberapa bulan berikutnya, usaha Gita mulai berkembang dengan pesat. Ia berhasil membuka cabang baru, merekrut lebih banyak karyawan, dan mulai menarik perhatian pasar yang lebih luas. Meskipun jadwalnya semakin padat, Gita selalu menyempatkan diri untuk bertemu dengan Kathrina, membicarakan perkembangan usahanya, serta memastikan bahwa hubungan mereka tetap kuat.

Suatu malam, saat mereka berdua duduk di teras rumah keluarga Naraya, Gita tiba-tiba berbicara tentang masa depan mereka.

"Kathrina, aku udah lama mikir tentang ini. Aku mau kita segera menikah," katanya tiba-tiba, membuat Kathrina terdiam sejenak.

"Menikah?" tanya Kathrina, sedikit terkejut meskipun ia tahu cepat atau lambat pembicaraan ini akan datang. "Kamu yakin sekarang sudah waktunya kak?"

Gita mengangguk. "Iya, aku udah mikir panjang soal ini. Usahaku mulai stabil, kamu juga hampir selesai dengan kuliah kamu. Kita udah siap buat ambil langkah ini."

Kathrina terdiam, meresapi kata-kata Gita. Ia tahu mereka sudah melalui banyak hal bersama—dukungan dari kakak-kakaknya, penolakan awal dari orang tua mereka, dan perjuangan untuk membuktikan bahwa cinta mereka lebih besar dari semua rintangan. Namun, menikah adalah langkah besar.

"Aku juga mau menikah dengan kamu, Kak," kata Kathrina akhirnya, tersenyum penuh keyakinan. "Tapi kita harus pastikan bahwa kita sudah benar-benar siap untuk hidup bersama, bukan cuma secara finansial, tapi juga emosional."

Gita tersenyum lega mendengar jawaban itu. "Aku setuju. Kita harus siap di segala aspek."

Setelah itu, mereka sepakat untuk mulai merencanakan pernikahan mereka. Tidak perlu terburu-buru, tetapi mereka mulai membicarakan hal-hal kecil seperti tempat tinggal setelah menikah, siapa yang akan diundang, dan bagaimana mereka akan mengatur kehidupan bersama. Setiap langkah yang mereka ambil terasa seperti bagian dari perjalanan panjang yang kini semakin mendekati akhir yang bahagia.

Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan diskusi serius antara Gita dan Kathrina tentang masa depan mereka. Keduanya sadar bahwa meski mereka saling mencintai, kehidupan pernikahan akan membawa tantangan baru yang mungkin lebih besar dari sebelumnya. Namun, dengan cinta, komitmen, dan kerja keras, mereka yakin bisa menghadapi semuanya bersama.

Di tengah semua rencana dan harapan itu, Kathrina juga mulai merasakan kebahagiaan baru. Hubungannya dengan Gita bukan lagi rahasia. Orang tua Gita kini perlahan mulai bisa menerima, terutama setelah melihat usaha keras Gita membangun kehidupannya sendiri. Bu Rahma bahkan mulai tersenyum setiap kali melihat mereka bersama, meskipun masih ada sedikit kekhawatiran di wajahnya. Kathrina tahu, mereka masih membutuhkan waktu, tapi setidaknya segalanya perlahan-lahan mulai membaik.

Dreams of TogethernessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang