Pengakuan Terakhir

75 12 0
                                    


Hari yang Kathrina dan Gita tunggu-tunggu akhirnya tiba. Meski perasaan tegang memenuhi hati mereka, keduanya tahu bahwa inilah saatnya untuk menghadapi keluarga Kathrina sekali lagi, kali ini tanpa harus bersembunyi. Sudah satu tahun berlalu sejak ayah Kathrina meninggal, dan selama itu pula cinta mereka semakin kokoh, meski harus melalui begitu banyak rintangan.

Sore itu, Kathrina mengajak Gita ke rumahnya. Gita mengenakan pakaian formal sederhana, berusaha tampil sebaik mungkin. Ia tahu bahwa meski Pak Wjiaya sudah tiada, kekuatan nama keluarga Naraya tetaplah besar. Di dalam rumah megah itu, segalanya bisa berubah dalam sekejap, baik atau buruk.

"Kamu siap kak?" tanya Kathrina ketika mereka sampai di depan rumah.

Gita mengangguk pelan, meskipun tangannya sedikit gemetar. "Aku siap. Ini bukan pertama kalinya kita menghadapi ini, kan?"

Kathrina tersenyum, mencoba menenangkan hatinya sendiri juga. "Iya, tapi kali ini akan berbeda. Kita nggak akan lari lagi."

Mereka berdua masuk ke dalam rumah, dan di ruang tamu sudah menunggu Ibu Anna, Indah, dan Marsha. Ibu Anna tampak tenang, tetapi jelas ada perasaan khawatir di balik matanya. Indah dan Marsha duduk dengan sikap santai, siap mendukung adik mereka, seperti biasa.

Kathrina menggenggam tangan Gita, memberikan kekuatan. "Bu, aku ingin bicara," ucap Kathrina pelan namun tegas.

Ibu Anna tersenyum lembut. "Katakan, Nak. Kami semua di sini mendengarkan."

Kathrina menarik napas dalam-dalam, lalu mulai berbicara. "Aku dan Kak Gita... kami sudah lama bersama. Sudah lebih dari lima tahun, Ibu. Dan aku yakin, dia adalah orang yang ingin aku habiskan hidup bersamanya. Kami ingin menikah, dan kami butuh restu keluarga."

Ruangan mendadak sunyi. Hanya ada suara angin yang berdesir lembut dari luar jendela. Gita duduk dengan tenang di samping Kathrina, meski jantungnya berdegup kencang. Ia tahu bahwa momen ini akan menentukan segalanya.

Ibu Anna menatap putrinya dengan tatapan penuh kasih sayang. "Kath, Nak... aku tahu kalian saling mencintai. Dan kalau itu memang yang membuatmu bahagia, aku akan mendukungmu."

Indah tersenyum kecil dan menatap Gita. "Selamat, Gita. Akhirnya kamu berani juga maju lagi."

Marsha tertawa kecil, memberikan tepukan ringan di bahu Gita. "Gua bilang juga apa, kan? Kalian pasti bisa. Kalau cinta udah bicara, nggak ada yang bisa ngalangin."

Namun, di balik suasana yang agak santai itu, Ibu Anna tampak berpikir keras. "Tapi kalian juga harus ingat, Kath, Gita. Walaupun aku dan kakak-kakakmu mendukung, keluarga besar kita pasti akan bertanya-tanya. Apalagi teman-teman ayahmu..."

Kathrina terdiam. Ia tahu apa yang ibunya maksud. Nama besar ayahnya sebagai seorang menteri, serta status sosial keluarganya, akan selalu menjadi sorotan. Tapi kali ini, ia tidak ingin mundur lagi.

"Bu, aku tahu apa yang Ayah dulu inginkan untuk aku. Dia ingin aku bahagia, dan aku yakin kalau dia masih di sini, mungkin pada akhirnya dia juga akan setuju, asalkan aku benar-benar yakin dengan pilihanku."

Ibu Anna menghela napas panjang. Ia menatap Gita sejenak, lalu kembali kepada putrinya. "Aku paham, Kath. Aku juga yakin Ayahmu ingin yang terbaik buat kamu. Tapi kamu harus siap dengan segala konsekuensinya."

Gita yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Ibu... saya tahu keluarga besar Naraya punya pengaruh yang besar. Tapi saya tidak akan menyerah. Saya sudah bekerja keras selama ini, dan saya ingin membuktikan bahwa saya bisa menjadi suami yang baik untuk Kathrina."

Indah yang mendengarkan ucapan Gita, tersenyum lebar. "Itu dia, Gita! Jangan pernah ragu sama kemampuan kamu sendiri. Kamu udah jauh lebih dari cukup buat Kath."

Ibu Anna mengangguk, melihat keteguhan hati Gita. "Aku percaya sama kalian, Gita. Kalau kalian sudah siap menghadapi apapun yang terjadi, aku akan mendukung sepenuhnya."

Kathrina menghela napas lega. Meskipun belum sepenuhnya terlepas dari beban, setidaknya ia tahu bahwa ibunya tidak akan menentang. Namun, ada satu hal lagi yang perlu mereka hadapi—keluarga besar Naraya. Meski bukan bagian dari percakapan hari itu, mereka tetap menjadi kekuatan yang harus dipertimbangkan.

Setelah pembicaraan itu, Kathrina dan Gita berjalan keluar dari rumah, menikmati udara sore yang segar. Meskipun pertempuran besar mungkin belum selesai, mereka merasa jauh lebih ringan dari sebelumnya.

"Kita berhasil, Kath," ucap Gita dengan senyum lebar.

Kathrina mengangguk, sambil memeluk erat lengan Gita. "Iya Kak, tapi ini baru permulaan. Masih ada keluarga besar yang harus kita hadapi."

"Kita bisa melewatinya. Kita udah lebih kuat sekarang."

Mereka terus berjalan, melintasi jalanan sunyi menuju sebuah taman yang biasa mereka kunjungi. Tempat itu sudah menjadi saksi perjalanan cinta mereka selama bertahun-tahun. Di sana, di bawah langit senja yang perlahan memudar, mereka berdua tahu bahwa tak peduli seberapa sulit jalannya, mereka siap untuk melangkah bersama.

Dreams of TogethernessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang