Rencana Yang Tertunda

100 19 1
                                    


Setelah percakapan yang penuh emosi dengan Pak Wjiaya, kehidupan Kathrina dan Gita tak pernah sama lagi. Meski mereka sudah menduga reaksi ayahnya, kenyataan tetap terasa pahit. Namun, meski hubungan mereka tak direstui, keduanya sepakat untuk tidak menyerah.

"Kak Git, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Kathrina suatu malam. Mereka duduk di tepi taman, jauh dari rumah, di tempat di mana mereka sering melarikan diri dari kenyataan.

Gita menggenggam tangan Kathrina dengan lembut. "Kita tetap bersama, Kath. Aku nggak akan mundur, walaupun Ayahmu tidak setuju."

Kathrina tersenyum tipis, meski kekhawatiran tetap terpancar dari matanya. Ia tahu Gita berusaha sekuat tenaga, tapi ada perasaan bersalah dalam hatinya. Ia tahu, di balik ketenangan Gita, ada beban besar yang harus ditanggung—bukan hanya soal cinta mereka, tapi juga masa depan Gita sendiri.

Saat itu, Gita sudah bekerja. Ia memutuskan untuk tidak hanya mengandalkan pekerjaannya sebagai pegawai di sebuah perusahaan kecil, tapi juga mulai merintis usaha sendiri. Ia memiliki usaha jasa kurir kecil-kecilan yang ia kelola di sela-sela waktunya bekerja. Awalnya, itu hanya proyek sampingan, tapi belakangan ini, usahanya mulai tumbuh. Ada beberapa karyawan yang bekerja untuknya, dan Gita berharap bisa mengembangkan usaha ini menjadi lebih besar.

Namun, meski dengan usaha kerasnya, Gita sadar betul bahwa ia bukanlah pria yang 'pantas' di mata ayah Kathrina. "Aku harus bisa lebih sukses lagi, Kath. Supaya aku punya sesuatu yang bisa kubanggakan di depan keluargamu."

Kathrina menggeleng. "Bukan soal sukses atau tidak, Kak. Kamu sudah lebih dari cukup buat aku. Kalau Ayah tidak bisa melihat itu, itu masalahnya, bukan masalahmu."

"Memang, tapi aku nggak bisa memaksakan keinginanku tanpa memberikan sesuatu yang nyata. Ayahmu adalah menteri negara, orang terpandang. Sementara aku..." Gita berhenti, matanya menatap jauh ke depan. "Aku cuma anak dari sopir keluargamu."

"Dan apa salahnya itu?" Kathrina memotong cepat. "Orang tua kamu bekerja keras untuk keluarga kita. Kamu juga. Kamu membangun sesuatu dari nol. Itu jauh lebih berharga daripada apa yang Ayah punya hanya karena posisinya."

Gita menghela napas, masih belum sepenuhnya yakin. Tapi satu hal yang ia tahu pasti: ia tak akan menyerah. Ia tak akan membiarkan status sosial menghancurkan cinta mereka.

Hari-hari berlalu, dan meski hubungan mereka berjalan diam-diam, dukungan dari kedua kakak Kathrina tetap menjadi sandaran utama. Indah, sebagai kakak tertua, kerap memberikan nasihat praktis tentang bagaimana menghadapi ayah mereka. Sedangkan Marsha, yang lebih bebas dalam berpikir, sering memberikan dorongan moral agar Kathrina tidak ragu mengambil langkah besar.

"Jangan takut. Kalau aku di posisimu, aku pasti bakal ngelawan Ayah," kata Marsha sambil meneguk teh hangat di teras rumah. "Masalahnya cuma di kepala Ayah, Kath. Dia terlalu terjebak sama gengsinya."

"Masalahnya, aku nggak seperti kamu, Marsha. Kamu selalu bisa dengan mudah melawan aturan. Aku... lebih banyak mikir," Kathrina mengakui.

"Tapi kamu juga punya hak untuk memilih hidupmu sendiri," Indah menimpali. "Lihat kita, semuanya seperti ibu. Ambil jurusan kedokteran, ikut jejaknya jadi dokter spesialis. Tapi kamu tahu, Kath, kamu juga bisa memilih jalan lain kalau kamu mau. Sama halnya dengan urusan cinta."

Malam itu, Kathrina termenung memikirkan kata-kata kakak-kakaknya. Ia tahu bahwa jalan yang akan ia tempuh bersama Gita tidak mudah. Mereka harus menunggu, mungkin bertahun-tahun lagi, sampai ia merasa cukup kuat untuk benar-benar menghadapi seluruh keluarganya. Tapi menunggu juga bukan solusi.

Dan menunggu itulah yang mereka lakukan. Selama lima tahun, Kathrina dan Gita menjalani hubungan mereka dalam bayang-bayang. Gita terus bekerja keras, baik di pekerjaannya maupun dalam membangun usahanya. Meski kecil, usaha kurir Gita semakin berkembang. Perlahan-lahan, ia mulai membangun reputasi di kalangan pengusaha kecil di kotanya. Ia tidak pernah mengeluh, meski jelas bahwa beban yang ia pikul semakin berat.

Kathrina pun terus melangkah. Ia menyelesaikan pendidikannya, mulai magang di rumah sakit, dan semakin mendalami bidang kedokteran, sebagaimana yang diharapkan ibunya. Namun, di balik semua kesibukan itu, hatinya tetap terpaut pada Gita.

Mereka saling berkirim pesan setiap hari, bertemu diam-diam di tempat-tempat yang jauh dari perhatian keluarga. Bagi Kathrina, setiap momen bersama Gita adalah pelarian dari kenyataan yang keras. Gita selalu mampu membuatnya tertawa, membuatnya merasa bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja, meski dalam hati kecilnya ia tahu mereka masih berjuang.

Suatu hari, sekitar setahun setelah kematian ayahnya, Kathrina duduk bersama ibunya di ruang tamu. Rumah besar itu terasa lebih kosong sejak kepergian Pak Daniel. Ibu Anna, meskipun selalu tampak tegar, jelas merasakan kehilangan besar. Tetapi di balik kesedihannya, ada sesuatu yang berbeda dalam cara ia memandang Kathrina.

"Apa yang sedang kamu pikirkan, Kath?" tanya Ibu Anna, lembut.

Kathrina menatap ibunya. "Aku... Aku memikirkan Kak Gita, Bu."

Ibu Anna tersenyum tipis. "Aku tahu. Kalian sudah saling mencintai sejak lama, kan?"

Kathrina mengangguk pelan. "Tapi, aku nggak tahu harus bagaimana, Bu. Setelah Ayah nggak ada, rasanya... semuanya jadi lebih rumit."

"Rumit bagaimana?"

"Aku ingin bersama Kak Gita, Bu. Tapi aku nggak tahu apakah ini saat yang tepat. Apa aku harus menunggu lagi?"

Ibu Anna memandang putrinya dengan tatapan lembut. "Kath, hidup itu tidak pernah ada waktu yang tepat. Kalau kamu merasa inilah yang membuatmu bahagia, maka itulah waktu yang tepat."

"Tapi Ayah..."

"Ayahmu ingin yang terbaik untukmu. Tapi kamu harus tahu apa yang terbaik untuk dirimu sendiri," jawab Ibu Anna bijak.

Kata-kata ibunya memberi Kathrina dorongan yang ia butuhkan. Mungkin sekarang saatnya. Setelah semua yang mereka lalui, setelah lima tahun penuh keraguan dan penantian, Kathrina merasa inilah waktunya untuk memperjuangkan cinta mereka lagi.

Ia tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

Dreams of TogethernessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang