Bab 1

210 20 1
                                    

Perhelatan pernikahan digelar dengan sederhana, mengingat kondisi ekonomi yang menyatukan dua raga yang bahkan tak pernah bertemu sebelumnya.

Park Jimin terpaksa menikah setelah terlilit hutang yang tak mampu ia bayar karena keserakahan ayahnya, berakhir jatuh di tangan rentenir yang menikahkannya dengan sang putra sebagai tebusan hutang yang menjerat.

Bahkan, ayahnya tetap memonopoli uang modal pernikahannya yang diberikan oleh sang mertua, sehingga pernikahannya pun dilaksanakan seadanya. Beruntung ia mendengar bahwa calon suaminya adalah seorang karyawan tetap suatu perusahaan yang lumayan besar di kotanya.

Mengingat sang calon suami, Jimin melihat lurus ke depan, seorang pria dengan muka putih pucat menunggunya.

Tangan Jimin dituntun perlahan oleh sang ayah, sembari menepuk tangan Jimin perlahan, "Jangan buat masalah dengan keluarganya, karena nanti aku juga kena imbasnya.".

Jimin hanya bisa tersenyum pahit, mengingat hakikat dari pernikahannya yang terpaksa. Tak cukupkah selama ini ia mengorbankan gaji pekerjaannya untuk memenuhi tuntutan sang ayah yang terus bertambah, sekarang dia harus berdiri sebagai penebus hutang ayahnya yang bahkan ia tak tau berapa jumlahnya.

"Tolong rawat anakku dengan baik, Yoongi-ah, aku jamin dia akan menjadi istri yang penurut." Tuan Park menyerahkan tangan Jimin ke tangan Min Yoongi, sang calon suami.

Yoongi hanya mengangguk pelan, tak ada ekspresi yang bisa Jimin baca, dengan ragu ia menggenggam tangan yang akan menjadi masa depannya. Benarkah Yoongi akan menjadi masa depannya? Atau akan berakhir secepatnya?

"Min Yoongi, apakah anda bersedia menjadi suami dari pasangan anda? Berjanji untuk selalu menemaninya selama sisa hidup anda, dalam suka dan duka, sehat dan sakit,kaya dan miskin, menjadi pelipur lara, senantiasa melindunginya, saling setia hingga maut memisahkan?"

Jimin memejamkan mata, berusaha meresapi setiap kalimat pengulangan yang diucapkan oleh Yoongi atas kesediannya menjadi pasangan hidupnya, tak terasa air matanya menggenang di ujung maniknya yang indah, sungguh, apa yang Yoongi ucapkan dia aminkan dengan segenap hatinya, berharap ada perubahan dalam hidupnya dan bersama ke arah kebahagiaan yang selalu ia impikan walaupun ia tak pernah mengenal pria yang kini menggenggam tangannya erat.

"Ya, aku Park Jimin bersedia menjadi pasangan Min Yoongi sampai maut memisahkan."

______________________________________

"Ahahahahah....rasanya sungguh berada di surga, aku tak perlu mengurus anakku, hutang hutangku juga lunasss semuaaghhh...hanya karena aku menyerahkan anak ingusan itu ke tukang pelit payah ituughh..Ahahahah..rasanya legaaa sekaliii", Tuan Park meracau tak jelas, bisa dilihat dari mukanya yang memerah dan omongannya yang melantur, bahwa ia sedang mabuk.

"Hidupmu beruntung sekali Pak Park, istriku di rumah selalu mengomeliku kalau aku ketahuan judi, dia sangat teliti, aku kesal tiap kali pulang ke rumah, dia hanya bisa mengeluh dan tidak pernah membereskan rumah.", temannya menuangkan minuman ke gelas yang kosong dan menenggaknya sekaligus.

"Itu tandanya kau harus menceraikan istrimu, Pak Ahn! Kau tidak perlu mengurus orang-orang merepotkan seperti itu, kalau butuh perempuan datang saja ke bar. Lihat saja, banyak sekali jalang-jalang cantik di sini! Harganya juga murah-murah, untuk apa kau masih memelihara istri tuamu itu", yang lain pun saling menyahuti saran itu sebagai tanda setuju.

Musik berdentum dengan keras, Pak Park mulai bergoyang mengikuti alunan musik, mata keranjangnya sibuk memindai wanita-wanita cantik yang mengantarkan minuman, sesekali ia bersiul saat ada yang tak sengaja bersitatap dengannya. Di umurnya yang menginjak 50-an, wajahnya tergolong masih tampan, bahkan terkadang Jimin mengakuinya, anak itu sungguh manis, dan sangat berguna untuk menghilangkan hutang-hutang sialannya.

Sementara itu, Jimin sudah sampai di apartemen Yoongi, rupanya apartemennya agak jauh dari tempat ia tinggal. Jimin pasti merindukan suasana pagi sekitar rumahnya, karena sepertinya, ia tak bisa dapatkan hal itu di bangunan bertingkat ini.

"Siapa namamu?", ucap Yoongi tiba-tiba. Entah perasaan apa yang Jimin rasakan, tapi hatinya sedikit sakit mendengar pertanyaan Yoongi.

"J-Jimin..", jawabnya lirih.
"Margamu?"
"Park..."

"Baiklah, Jimin. Aku tidak bisa berbagi kamar, apalagi aku tidak mengenal mu sama sekali, jadi gunakan kamar tamu yang ada di depan sebagai kamar tidurmu.", Yoongi menyerahkan sepasang kunci.

"Maksudmu, kita tidur di kamar yang berbeda?", Jimin berusaha mencerna ucapan Yoongi.

"Tentu saja, apa yang kau harapkan dari pernikahan ini? Bukankah kita tidak pernah mengenal satu sama lain? Kau dinikahkan karena utang ayahmu kan? Aku harap kau mengerti posisimu." Yoongi meninggalkan Jimin yang mematung mendengar ucapannya.

Apa dia tidak memahami perkataannya, Yoongi tidak mau mengambil pusing dan bergegas untuk mandi, badannya sangat lengket setelah acara pernikahannya tadi siang.

Di kamar, Jimin menangis sejadi-jadi nya, ternyata kenyataan sangatlah menakutkan, bukannya penerimaan yang ia dapatkan, diamnya Yoongi dari awal mereka bertemu ternyata adalah bentuk ketidaksukaan atas kehadirannya.

Jimin menangis dan terus menangis, sampai dia terlelap di kasur sebelum membereskan barang barangnya.

Are'nt We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang