DIMAS POV
Menyesal...
Aku merasakan dalam hati penuh dengan rasa sesak dan sesal yang tak kunjung hilang. Mengapa aku begitu dikuasai oleh amarahku sendiri yang menuntunku untuk melakukan tindakan bodoh. Andai saja waktu itu aku tidak menghancurkan harapanku secara percuma dengan melampiaskannya pada seseorang yang kenyataannya rasa yang ia miliki berpihak padaku. Andai saja waktu itu aku bisa mengendalikan setan yang sudah merasukiku, andai saja waktu dapat aku putar kembali. Kembali di taman itu, mencoba memahami apa yang ia rasakan dan menerima segala apa yang menjadi keraguan atas segala pertanyaanku padanya.
Aku memandangi ke arah tubuhku sendiri, ya...
Tubuh ini masih hangat oleh pelukan dari deny waktu itu. Tubuh ini menjadi saksi hidup seseorang yang berjuang untuk mengakui segala keraguan dari dalam hatinya. Setelah kejadian itu, aku langsung menelepon ke rumah sakit tempat dimana deny biasa dirawat. Tanganku terus memegang erat tangan deny berharap detak jantungnya yang melemah terus berdegup sampai mobil ambulans datang.
"deny... kamu harus kuat"
"deny..." aku terus memeluknya agar kehangatanku dapat menyadarakannya. Mobil ambulans pun segera datang dan membawa deny ke rumah sakit. Aku terus menemaninya hingga dua perawat terpaksa menahanku untuk tidak memasuki ruangan ICU.
"saya harus masuk, saya harus menemani dey !" teriakku meronta melepaskan cengkereman kedua perawat itu
"tidak bisa mas, anda dilarang masuk ke ruangan ini"
"serahkan semua pada Tuhan mas, dokter akan bekerja semaksimal mungkin" perawat menenangkanku
"den..." wajahku tertunduk dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan apa yang terbaik yang akan terjadi. Kedua perawat itu melepaskan cengkeramannya dan mengajakku untuk duduk.
"dimas..."
"dimas..." aku menoleh ke arah seseorang yang memanggilku
"citra..nana...dan bu" aku langsung mencium kedua tangan seorang perempuan yang aku kenal yang itu adalah ibu deny
"deny...deny kenapa nak dimas ?" sorot mata ibu deny menampakkan kekhawatiran dengan kedua tangannya memegang erat kedua tanganku. Aku langsung memeluknya...
"tenang bu, deny tidak apa-apa. Dia kuat..."
Kami memutuskan untuk menunggu dokter melakukan hal yang terbaik untuk keselamatan deny. 3 jam berlalu dan kami terus mengharapkan yang terbaik. Gagang pintu terbuka dan dokter keluar dari ruang tersebut. Tampak ia mengelap keringat dan membetulkan kacamatanya
"dengan keluarga pasien deny ?" dokter itu menghampiri kami berempat
"saya ibunya dokter, bagaimana dengan keadaan anak saya ?" terlihat dokter tersebut ragu untuk mengatakan, bibir atasnya sedikit menggigit bibir bawahnya
"saya selaku tim dokter yang melakukan operasi, meminta maaf karena kami gagal untuk menyelematkan deny. Mohon maaf kami sudah melakukan yang kami bisa" ujar dokter tersebut mengelus pundak ibu deny
Aku tak percaya...
Aku tak percaya deny tak terselamatkan...
Aku tak percaya...
"dokter, dokter gak bercanda kan ?" refleks tanganku mengguncang tubuhnya
"dokter...tolong katakan dokter bahwa dokter bercanda" tangisku mulai pecah
"dimas, udah dimas, ini memang sudah yang terbaik" ujar nana menenangkanku di sela-sela air matanya yang mengalir
Semuanya telah terjadi dan kau tidak bisa menyentuh kesempatan untuk kedua kalinya. Ketika hari pemakaman deny, hatiku terlalu sakit untuk melangkahkan kakiku keluar kamar menuju ke tempat peristirahatan terakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Dia dan Hujan
Teen Fictionketika sebuah rasa harus diungkapkan, segeralah bergegas untuk mengungkapkannya. ketika sebuah rasa harus diyakini, segeralah bergegas untuk meyakini atau hujan akan mengambil itu semua.