Kamera Tua Milik 𝘛𝘩𝘣𝘨-𝘯𝘩𝘷

3 1 0
                                    

Connor adalah pengoleksi barang antik, di tengah keramaian pasar lama ini adalah sebuah surga baginya. Walau di tangannya sudah penuh dengan jinjingan bungkusan barang yang telah dibelinya, Connor tak merasa puas.

Walau agak menguras dompet, ia tak peduli. Connor hanya mencoba abai akan susahnya cobaan hidup dengan memenuhi hasratnya untuk mengoleksi banyak barang lama ini.

Kakinya melangkah masuk ke dalam toko yang menarik perhatiannya. Dari depan hanya terpajang baju lama serta figura yang terlihat usang dan agak rapuh (?) Pikirnya dengan ragu ketika mengingat tampilan _display_ depan toko tadi.

Namun, ia yakin pasti ada barang lama yang akan menarik perhatiannya jauh lebih dari magnet yang telah menariknya ke dalam sini.

Di barisan rak yang berjejer rapi dengan barang-barang unik, aneh, dan beragam itu membuat Connor merasa seperti ada di zaman yang sangat berbeda. Hingga ia melihat sebuah benda tersaji apik di dalam kotak kaca berukuran minimalis.

Dengan sebuah kain merah terlihat berbulu, benda yang membyatnya tertarik itu sangat indah di matanya. Warna pekat keabu-abuan serta hitam yang seolah tak pudar ditelan masa sungguh keajaiban dari benda itu yang seakan tak kalah akan waktu.

Lensa jernih dengan sebuah penerang yang mungkin saja masih berfungsi itu pun terlihat cantik dengan perawatan yang telah diberikan olah sang penjual.

"Aku mau membelinya!"

.
.
.

Connor merebahkan tubuhnya di atas sofa lembut itu, ia meregangkan otot-ototnya hingga nyaman. Membuka sepatu serta kaos kakinya dan mengecek kembali bungkusan yang telah ia bawa selama berburu tadi.

Kepalanya sangat bahagia ketika menikmati, mengeluarkan barang-barang antik itu dari bungkusnya. Dilihatnya satu persatu barang yang berbeda itu, seperti figura kaca khas negara utara, batu giok khas negara timur, dan hal lain di sana.

Lalu di satu bungkusan terakhir yang sangat terlihat menggugah mata itu, Connor menariknya. Mengulur plastik yang membungkus dan membukanya perlahan. Menampilkan kembali sebuah kamera lama dari tahun 1800-an.

Masih sama pula seperti sebelumnya, ia kembali melihat kamera itu di dalam sebuah kotak kaca yang membungkusnya. Namun, kali ini lebih kecil dari apa yang dipajang di toko tadi.

Ia merogoh kunci dari sakunya dan membuka pengunci yang memisahkan Connor dari benda itu. Setelah terbuka ia mengambilnya, melihatnya ke segala sisi dan mencoba membidik pandang dengan kamera itu.

Ia pun menyentuh tombol hingga berbunyi suara keras yang disusul dengan terjepretnya gambar serta kilatan cahaya yang juga lumayan bersuara.

"Ahaha, aku tahu kau masih berguna! Lain kali aku harus membeli gulungan film atau sesuatu yang seperti ini lagi, ya." Connor tersenyum, ia pun mengambil kertas polaroid yang keluar dari sana. Mengibasnya sebentar, menunggu gambar yang terjepret tadi untuk keluar.

Tok tok tok!

Suara ketukan dari pintu depan itu mendistraksinya. Mau tak mau ia meninggalkan kamera serta polaroid tadi dan beranjak untuk melihat siapa yang datang.

Dibukanya kenop pintu itu hingga menampilkan seorang pengantar pizza yang dipesannya beberapa menit lalu. Setelah mengambi dan membayar pesanannya, Connor kembali.

Mendapati kertas polaroid yang menjepret bagian tengah ruangan dari sofanya itu terlihat aneh. Di sana tergambar atau lebih tepatnya terfoto dengan jelas, bukan hanya sebuah dinding berwarna kelabu dengan rak sepatu dan lukisan kecul yang terpajang.

Namun, ada dia juga yang sedang berjalan hingga agak buram gambarnya serta sebuah kotak pizza yang dipegangnya. Membuatnya heran sekaligus takjub, mungkinkah apa yang ada di pikirannya itu nyata?

Ia pun mencobanya lagi, ia menjepret bagian bar dapur yang ada di sebelah kiri ruangan dari sofa tadi. Connor kembali menarik polaroid itu keluar dan mengibaskannya sebentar lalu menunggunya kembali, namu setelah ditunggu hingga pizzanya sisa setengah potong itu gambarnya belum muncul.

Malah sesuatu kelabu yang tampak seperti kabut terlihat di sana, seolah gambar buram telah terjperet atau terfoto tadi. Belum, sempat kembali menarik apa yang ada di pikiran liarnya sebuah suara gas yang sangat kuat terdengar.

Rasanya seolah angin berembus kencang melewati pipa-pipa di dalam rumahnya, lalu ia melihat kebocoran itu tepat di bar dapurnya. Ketakutan, ia menarik dirinya dari sana dengan kamera itu dalam genggamannya.

Keluar dari ruangan yang berbahaya itu, Connor masih merasa tak aman. Karena di lorong panjang tempat pintu kamar berjejer rapi itu banyak orang berlalu lalang yang sedang berlari menuju arah keluar.

Maka dari itu pun ia keluar dari sana dan mendapati bahwa di bawah gedung sana para penghuni gedung sedang khawatir akan sesuatu yang terjadi pada gedung huniannya.

Namun, sesuatu aneh disadari oleh lelaki yang lupa memakai celana pantas untuk keluar itu. Bukan hanya gedung yang Connor tempati mengalami sesuatu, akan tetapi penghuni gedung lain terlihat turun dari tempat tinggalnya pula.

Lalu suara gemuruh lain menggemparkan mereka, seolah hujan akan datang. Membuat beberapa mereka berteduh dengan perasaan gundah, dan yang lainnya hanya menatap langit.

Connor pun begitu, ia menatap langit sambil membidik pemandangannya lewat lensa kamera tua. Ia pun tak tahan untuk menjepretnya, dalam pikirannya pula setelah dua kali mencobanya pasti hanya akan ada tetesan air hujan dari langit yang akan terekam, 'kan?

Brak!

Seseorang menabraknya hingga ia terjatuh setelah mengklik tombol itu. Menyebabkan kameranya terjatuh dan membuka bagian belakangnya.

Tempat kertas polaroid yang merekamnya tersimpan. Di dalam sana pula terlihat dengan jelas bahwa ada ukiran berwarna emas yang terbaca.

Milik Thbg-nhv

"Nama macam apa itu?" monolognya terabaikan karena setelah itu ia terkejut akan gambar yang perlahan terlihat dari polaroid yang keluar.

Sebuah pemandangan bola api besar yang hendak menabrak apa yang ada di bawahnya. "A–apa-apaan itu?"

Not A MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang