Tidak Ada yang Tahu

2 1 0
                                    

Seorang remaja tanggung tanpa ada rasa penyesalan itu masih bergelung di atas kasur dengan selimutnya. Padahal sebelumnya ia telah terbangun, akan tetapi ia lebih memilih untuk lelap kembali tanpa tahu sesuatu telah terjadi di rumahnya.

Ketika detik jam kembali mengeras ia terbangun, Rian membuka matanya dan mendapati bahwa jam menunjukkan pukul sebelas dan terpaksa ia langsung terduduk lalu melakukan sedikit peregangan.

Ia melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya untuk menghadapi ruangan tengah yang begitu berantakan, beberapa perabotan pecah dan ada juga yang terbalik. Bahkan televisi masih menyala dalam keadaan layar yang retak, akan tetapi seakan tak peduli Ryan jalan saja melewati hal itu.

Walau kakinya menginjak lantai yang penuh dengan snack yang tumpah dan sedikit pecahan dari perabotan rumahnya ia tetap lanjut berjalan ke dalam kamar mandi. Menghadapkan dirinya pada seonggok daging yang terduduk di atas kloset.

Wajah mayat itu terlihat sudah membiru. "Ibu, aku ingin buang air besar apa kau bisa minggir?" Ryan sedikit kesal, dengan mencebikkan mulutnya ia lebih memilih untuk menggosok giginya terlebig dahulu dan mencuci wajahnya.

Membiarkan dirinya pergi tanpa jawaban dari mayat sang ibu.

Ryan keluar dari kamar mandi dan ingin sarapan, di bar dapur terletak seorang pria yang terikat begitu saja di sana. Ryan seperti biasa tak ambil pusing, dirinya hanya peduli pada sereal yang akan ia makan.

"Selamat makan, Om. Kau tidak suka sereal 'kan?" Ryan tak peduli akan jawaban apa yang nanti keluar, ia langsung pergi dan menuju halaman. Di sana ia tersenyum sambil menikmati sarapannya.

Kolam air itu berwarna merah pekat dan ada tiga orang yang mengambang dengan banyak luka sayatan di berbagai sisi tubuhnya. "Selamat pagi juga adik dan kakakku tersayang," sapanya lalu tersenyum, ia pun juga menyuap serealnya beberapa kali dan sisanya ....

Dibuang dalam kolam berdarah itu. Tak peduli pula ketika mangkuk itu pecah setelah dilemparnya karena terbentur dinding sana.

Dia duduk di atas sofa yang dipeluk oleh tamu-tamu tak bernyawa itu tanpa ragu, mengambil telepon yang berdering di sana dan mengangkatnya. Tersenyum lebar ketika suara dari balik telepon tersebut memiliki hal yang dicarinya.

***

"Kau yakin ini rumah om itu?" tanya si anak perempuan kuncir kuda, ia sedikit ragu ketika kakaknya yang terpaut lebih tua tiga tahun darinya itu memberi tahu jika mereka disuruh menjemput ibunya di rumah temannya.

"Yah, kau pikir aku suka berbohong? Sudahlah, aku ketuk pintunya ya!" balas sang kakak lelaki yang lebih tua lalu diketuknya pintu bercat putih itu dengan antusias.

Tak lama seorang pemuda, yang dilihat oleh mereka hampir sama tingginya dengan sang ibu itu membuka pintunya. Tersenyum dengan lebar seolah ia adalah orang yang paling bahagia di dunia ini.

"Ugh, ini om di telepon kan?" lelaki itu mengangguk, tangannya melambai pelan hingga rambutnya yang lumayan panjang itu bergoyang. "Tentu, kalian masuklah terlebih dahulu, lalu om akan panggilkan ibu kalian," jawabnya tak ragu.

Berbeda dengan sang kakak yang biasa-biasa saja, sang adik malah gelisah entah mengapa. Di dalam hatinya, om itu terlihat berbahaya. Seolah ada sesuatu yang mengintainya dari balik mata itu serta senyumanya ... 'Aku rasa, aku tak pernah melihat senyum aneh seperti itu,' batinnya berucap takut.

Yah, mereka tak tahu. Mereka hanya anak kecil, apa yang bisa mereka lakukan? Tak ada. Semuanya pasti sia-sia. Mereka telah terjebak, terjebak dalam rumah seorang pembunuh yang menantikan semburan darah serta jeritan dari orang yang disiksanya.

Kasihanilah mereka, anak-anak yang malang. Semoga kalian beruntung.

Not A MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang