Chapter-2
Di tempat lain seseorang tampaknya sedang berdengung dalam lamunanannya, bersenandung dalam dilemanya. Memilah dan memilih beberapa product pelembab wajah mana yang akan ia gunakan untuk memoles wajahnya yang bahkan sebenarnya tak lah membutuhkan polesan.
Parasnya sudah sempurna dengan segala bentuk keindahan yang ada pada dirinya. Tak perlu dipoles dengan apapun, ia tetaplah maha sempurna di antara para kaum sejenisnya. Bibirnya yang kecil menjadi titik objects keindahan dari dirinya yang menjadi salah satu khasnya. Tutur katanya yang santun dan lemah lembut membuat siapapun terhanyut ke dalam perasaannya. Tapi itu dulu ... jauh sebelum terjadinya sebuah tragedy yang meruntuhkan dunianya beserta impiannya.
Ia duduk santun di kursi meja riasnya. Menatap penuh damba pada pantulan wajahnya sendiri. Sebegitu kagumnya ia pada paras wajahnya sendiri. Hingga seulas senyum culas pun terbit di tengah ranum bibir indahnya. Sewaktu sekolah, ia adalah idola bagi para teman-temannya. Entah dibagian mananya para teman-temannya itu mengaguminya, yang pasti ia hanyalah pelajar biasa seperti anak kebanyakan. Bahkan dirinya tidak termasuk siswa yang pandai di kelasnya. Hanya saja ... aura bintang memang begitu melekat di dalam dirinya. Mungkin ... karena ia adalah putera dari pemilik yayasan sekolah.
Di sini ... di dalam kamar nya, kamar yang tak layak di sebut kamar. Sebuah ruangan megah yang menjajikan kenyamanan bagi penghuninya. Kata mewah, mahal dan berkelas ada di dalam satu ruangan yang hanya dihuni satu orang saja. Namun siapa yang tahu, jika orang yang menempatinya begitu banyak menyimpan duka yang tiada bisa dijabarkan dengan aksara apapun.
Traumanya hampir 99% persen menyita nafasnya. Begitu sesak dan sangat menyakitkan. Terpampang nyata pada wajah dengan paras cantik seorang pria yang kini tengah berdiri di depan cermin dengan tatapan nanar penuh kesedihannya. Semua nasib malang yang menimpa dirinya disebabkan oleh parasnya yang cantik dan manis. Hingga mengundang napsu iblis dari seseorang yang seharusnya menjadi malaikatnya.
Tetapi meski begitu ia masih bisa tersenyum cantik seraya meraba dengan begitu sangat sensual tiap lekukan bibirnya yang dibuat dengan berbagai gesture seraya main-main.
Menekuknya dan lalu mempoutkan nya. Benar-benar menggemaskan. Dulu ... akan ada seseorang yang selalu memuji keindahan bibirnya. Pujian yang selalu membuatnya sukses tersipu malu. Pujian yang pada akhirnya mengantarkannya pada sebuah kehancuran. Harusnya ... ia lebih tegas dan tak gampang luluh.Dahulu ada seseorang yang menjadi panutannya selalu memuji keindahan apapun yang ada pada dirinya. Hingga ia pun merasa menjadi yang terpuja, sampai dirinya lengah akan buaian sang makhluk fana.
Selalu seperti itu. Dirinya yang bahkan tak ingin mengingat apapun itu selalu dipaksa pada ingatan dari suatu kejadian yang tak layak diingat namun kenapa begitu sangat enggan sekali untuk menghilang dan lenyap. Ada benci tapi juga rindu yang saling tumpang tindih dalam pikirannya.
Sungguh sangat mengganggu~
Sehingga membuat senyuman cantik itu berubah beralih menjadi sebuah seringaian yang mengerikan.
"Wahai cermin siapa yang paling cantik di rumah ini?"
Laki-laki gila itu terkikik mengerikan, memperlihatkan wajah cantiknya di depan cermin besar yang terpajang di dalam kamarnya. Menepuk nepuk wajahnya menggunakan spon bedak dengan begitu sangat kasarnya hingga membuat wajahnya yang putih mulus itu menjadi kemerah-merahan. Kata-kata ajaibnya sudah ke luar. Dan biasanya dulu akan ada orang yang menghujaninya dengan pujian klise dan rayuan gombal hanya untuk melihat pipinya yang merah merona. Tapi sekarang jika kata-kata ajaib itu sudah diucapkan, maka harus ada api yang dipadamkan segera.
"TAEHYUNG ... TAEHYUNG ... TAEHYUNG ..."
Tiba-tiba lelaki itu berteriak panik memanggil seseorang di dalam rumahnya. Entah apa yang membuatnya sehisteris itu. Sehingga suaranya yang melengking itu pun tak hanya mengundang satu atau dua orang saja.