Leo terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Sebenarnya dia belum tidur dengan kenyang karena semalam mereka bertempur hingga jam tiga pagi. Baik Leo maupun Astrid sama-sama memiliki gelora hasrat yang luar biasa sehingga mereka terus merasa tidak terpuaskan. Mereka baru puas setelah melakukan sebanyak beberapa ronde.
Tapi sinar matahari pagi masuk menyusup melalui celah-celah tirai jendela dan membuat silau mata Leo sehingga silau Itulah yang membangunkan Leo. Ah, bahkan kepalanya terasa pusing. Dia masih ingin memejamkan matanya.
Leo menoleh ke sebelah kiri. Astrid masih tertidur nyenyak di pangkuannya. Semalam istri keduanya ini sangat ganas. Malah lebih ganas dari dirinya. Astrid tidak cukup dua kali, dia meminta untuk yang ketiga kali atau bahkan yang keempat kali. Leo sebenarnya sudah hampir menyerah di yang ketiga tapi Astrid terus merangsangnya sehingga lagi-lagi kepunyaannya berdiri. Bagi seorang laki-laki, tentu senang jika terus diberi. Lagian, dia tidak terlalu capek karena Astrid lebih mendominasi permainan. Dia hanya penyempurna di bagian akhir.
Leo mengecup pipi Astrid. "Sayang, ayo bangun."
Astrid menggeliat. Tapi selanjutnya, bukannya bangun, Astrid justru berbalik tubuh dan memejamkan matanya kembali. Selimutnya sudah melorot sampai ke pinggul hingga memperlihatkan tubuh bagian atas wanita itu yang polos. Di area leher penuh dengan jejak merah. Leo tahu itu adalah jejak yang dibuat oleh dirinya.
Malamnya bersama Astrid memang sangat indah meskipun Astrid sudah tidak perawan lagi. Leo tidak marah dengan kenyataan itu karena dirinyalah yang merenggut keperawanan Astrid ketika mereka masih pacaran dulu. Pacaran mereka memang tergolong di luar batas. Leo dan Astrid sering tidur bersama dan melalukan hubungan yang seharusnya tidak mereka lakukan. Keduanya tak merasa bersalah karena mereka melakukannya atas dasar suka sama suka. Leo sendiri melakukannya bukan ingin mempermainkan Astrid. Dia melakukannya karena dia memang cinta pada wanita ini.
Leo mengecup bahu Astrid. "Ini sudah sangat siang. Sudah jam sembilan. Lebih baik kita pulang. Aku khawatir Moza menungguku."
Astrid menoleh. "Kenapa dia harus menunggumu? Bukankah dia tahu kalau kita sedang melakukan malam pertama?"
"Ya karena itu adalah tugasnya sebagai seorang istri. Dia pasti sudah masak sekarang. Aku juga sudah lapar dan ingin sarapan."
Astrid melingkarkan tangannya di leher Leo. "Sayang, kamu 'kan bisa pesan sarapan di sini saja. Aku benar-benar masih ingin di sini. Kalau soal Moza, bukankah selama ini dia bersama kamu. Masak sih dia tidak memaklumi kamu jika belum pulang. Dia 'kan tau kalau kamu sedang melakukan malam pertama denganku?"
"Iya, aku tau soal itu. Tapi 'kan kita harus jaga perasaan dia yang sudah mau dimadu. Kamu lihat 'kan sikapnya ketika dia akan pulang? Dia seperti marah. Bahkan dia tidak mau mengangkat telpon dariku. Aku takut dia akan semakin marah kalau aku tidak cepat pulang.
Mendengar itu, Astrid menelan ludah. Dia sangat kesal dengan sikap Leo yang sangat jelas menjaga perasaan Moza. Ini tidak bisa dibiarkan. Dia harus menjadi satu-satunya di hati Leo. Dia harus bisa menyingkirkan Moza.
Astrid bergerak sehingga kini terlentang di bawah Leo. Dia lalu menyingkirkan selimutnya saat itu juga sehingga memperlihatkan tubuhnya yang polos tanpa sehelai benangpun.
Leo menelan salivanya. Tiap kali melihat yang satu itu, Leo selalu terpikat. Leo pun akhirnya pasrah ketika Astrid mendorong tubuhnya sehingga terbaring kembali dan Astrid naik ke atas tubuh Leo.
Setelah keduanya terpuaskan, mereka langsung memesan sarapan. Perlakuan Astrid padanya membuat Leo hanyut dalam syurga dunia. Sungguh. Meskipun Moza cantik dan istri yang berbakti, tapi tidak seliar Astrid. Wanita itu hanya seperti sebuah bantal di atas tempat tidur. Hanya menerima tanpa berfikir untuk membalas. Hubungan suami istri yang sangat membosankan menurut Leo.
Setelah sarapan, Leo dan Astrid check out dari hotel. Tapi mobil mewah Leo tidak mengarah ke jalan pulang melainkan ke sebuah apartemen dimana Astrid tinggal. Ya, selain cantik dan pandai bermain di atas tempat tidur, Astrid adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan dengan level sedang. Gajinya cukup untuk Astrid memenuhi semua kebutuhan setiap bulan. Semasa kuliah, Astrid juga lumayan pintar. Hanya saja nasib belum membuatnya memegang peranan penting di perusahaan tempatnya bekerja.
"Aku langsung pulang saja ya," ucap Leo. Selezat apapun Astrid, dia masih teringat dengan Moza. Wanita itu sudah menemaninya selama lima tahun ini, tentu tidak mudah untuk disingkirkan. Apalagi selama mereka menikah, Moza hampir bisa dikatakan seorang istri yang tanpa celah. Nyaris sempurna dengan ke pelayanan dan sikapnya.
Mendengar kata pulang, Astrid langsung menggelayuti leher Leo. "Sayang, pikiran kamu kok pulang terus sih? Kita itu baru nikah kemarin lho. Masak sih kamu sudah mau meninggalkan aku? Atau... aku saja yang izin sama Moza agar membiarkan kamu bersamaku untuk beberapa hari atau beberapa Minggu. Aku tuh masih kangen banget sama kamu." Astrid menghujani Leo dengan kecupan-kecupan yang akhirnya kembali membuatnya tak berkutik.
Leo menggeleng. "Jangan! Nanti dia tersinggung kalau kamu yang bicara ke dia. Biar aku saja. Tapi aku pulang dulu untuk mengambil pakaianku ya."
Astrid memanyunkan bibirnya. "Tapi janji hanya sebentar ya?"
"Iya, hanya mengambil baju saja dan kemudian langsung kembali ke sini."
"Oke deh. Aku izinkan."
***
Moza berkali-kali melihat ke arah pagar. Dia menanti Leo pulang. Tadi pagi Leo tidak pulang untuk sarapan tapi berharap Leo akan makan siang di rumah ini.
Ya, memang hati Moza merasa sakit dengan pernikahan Leo dan Astrid. Akan tetapi, dia merasa itu adalah bagian dari proses. Dia yakin suatu hari nanti bisa menerima Astrid sebagai madunya. Dia hanya butuh waktu.
Bayu yang sejak tadi memperhatikan Moza dengan seksama, menghela nafas kesal. Bagaimana bisa Moza masih menanti kepulangan pria tak setia seperti Leo?
Drrrt.... Drrrrt....
Bayu menoleh pada getaran di saku bajunya. Langsung diambilnya ponsel itu dari dalam saku bajunya. Sebuah nama Robi tertera di layarnya. Robi adalah assisten pribadinya. Tak harus menunda, Bayu langsung mendekatkan ponselnya ke telinga.
"Halo Rob! Ada apa?"
"Maaf Tuan Arthur kalau saya mengganggu. Saya ada tak jauh di luar pagar. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan anda."
Mata Bayu melebar. "Apa? Kamu di luar pagar? Astaga. Jangan sampai ada yang melihat kamu!"
"Jangan khawatir tuan. Tak ada yang akan mengenali saya. Saat ini saya memakai kaos oblong coklat, kacamata hitam, dan topi coklat."
"Ya sudah. Aku ke sana sekarang."
"Baik tuan."
Bayu memasukkan ponselnya ke dalam saku kemejanya kembali sebelum akhirnya melangkah keluar pagar. Dia menoleh ke kiri dan kemudian ke kanan. Dan dia menemukan Robi di sebelah kanan. Assisten pribadinya itu tidak memakai mobil melainkan sebuah motor gede atau Moge. Untunglah, karena kalau memakai mobil, orang bisa curiga. Bayu pun segera mendekati.
"Ada apa Rob?"
Begitu melihat Bayu, Robi yang tadinya duduk santai di atas Moge yang dikendarainya, langsung turun dan mendekati Bayu dengan sikap hormat.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Istri Yang Sabar
Fanfiction"Bagaimana saksi? Sah?" "Sah." "Sah." Lafadz hamdalah berkumandang ke seluruh ruangan. Semua wajah yang ada di ruangan itu terlihat bahagia dan berseri-seri, kecuali satu orang wanita berhijab yang duduk di belakang mempelai pria. Wanita itu bernama...