Sementara itu di Red's Hotel, Leo membaringkan Astrid yang berada dalam gendongannya ke atas tempat tidur sebelum akhirnya tubuhnya sendiri berada di atas tubuh wanita itu dengan tangan sebagai penyangga. Leo menatap wajah cantik Astrid dengan penuh seksama. Tapi entah mengapa dia justru melihat wajah Moza.
Leo mengedipkan matanya berkali-kali untuk menghilangkan bayangan Moza itu. 'Kenapa ini? Kenapa aku melihat wajah Moza?' batinnya tidak terima. Astrid yang melihat itu, menyipitkan matanya tajam.
"Kenapa sayang? Apa ada yang salah dengan wajahku?"
Leo menggeleng. "Tidak. Tidak ada yang salah dengan wajahmu. Akan tetapi aneh sekali. Aku melihat wajah Moza di wajah kamu."
Astrid menipiskan bibir. Apa yang diucapkan Leo barusan jelas melukainya. Bagaimana bisa saat sedang bersamanya seperti ini, Leo malah melihat wajah Moza. Jangan-jangan Leo sudah mencintai Moza melebihi cinta Leo kepadanya.
"Mungkin itu karena kamu belum terbiasa denganku, Leo. Bukankah selama bertahun-tahun kamu hidup bersamanya?"
"Ya, aku rasa begitu. Sebentar." Leo bergerak dari atas tubuh Astrid dan duduk di tepi tempat tidur. Dia mengambil ponselnya dari atas nakas dan mulai mencari salah satu nama di ponselnya. Astrid yang mulai merasa kesal, lalu bangun dan menaruh dagunya di atas bahu Leo.
"Kamu mau menelpon siapa sayang?"
"Moza. Aku mau menelpon Moza. Aku mau bertanya apakah dia sudah sampai rumah apa belum. Hujan di luar sangat deras. Aku takut terjadi apa-apa padanya di jalan."
"Tapi 'kan kamu sudah menitipkannya pada Bayu. Dia pasti baik-baik saja kok."
"Meski begitu, aku harus memastikan Moza selamat sampai di rumah. Bayu itu orang lain, akulah suaminya. Jadi aku harus memikirkan keadaannya."
Astrid menjauhkan dagunya dari bahu Leo. Dia lalu menghela nafas berat. Moza secara tidak langsung telah mengganggu malam pertamanya. Dia benci ini. Bukankah selama ini Moza sudah memiliki Leo?
Tuuuut...tuuut...
Panggilannya tersambung ke nomor Moza. Tapi Moza tidak mengangkatnya juga. Leo tampak gelisah. Dia kembali menelpon Moza.
"Ayo dong Moza...angkat..." gerutu Leo pada dirinya sendiri. Tapi sampai di coba beberapa kali, Moza tidak juga mengangkat telpon darinya.
"Aduuh...kamu ini kemana, Moza? Kenapa tidak juga mengangkat telpon?" Leo panik, membuat Astrid yang melihatnya jengah. Astrid jadi ingin segera menyingkirkan Moza dari hidup Leo karena jika Moza terus ada, maka bisa dipastikan bahwa dia bukan hanya istri kedua Leo tapi akan selalu menjadi yang nomor dua di hidup Leo. Astrid tidak mau.
Sementara itu di tempat lain, Moza menatap layar ponsel yang menunjukan nama Mas Leo. Suaminya itu sudah menelponnya beberapa kali, tapi tidak dia angkat. Hati Moza terasa sakit begitu melihat nama itu tertera di layar ponselnya.
Setelah hampir dua puluh kali Leo memanggil, akhirnya panggilan itu berhenti dan berganti dengan sebuah pesan masuk.
'Moz, kamu baik-baik saja 'kan? Kamu sudah sampai rumah 'kan?'
Moza menelan salivanya. Haruskah dia membalas pesan itu?
Moza menggeleng kecil. Dia merasa begitu enggan untuk membalas.
'Moza, kamu membaca pesan ini. Tapi kenapa kamu tidak juga membalasnya?' Pesan dari Leo lagi.
Tapi lagi-lagi Moza hanya membacanya saja tanpa berniat untuk membalas. Hatinya masih sangat marah. Tidak mudah baginya menyingkirkan kemarahan dan seolah menganggap tak terjadi apa-apa.
Moza menaruh ponselnya di atas meja. Dia lalu beranjak dari sofa mendekati tempar tidur. Kemudian dia membuka handuk yang melingkar di kepala dan membiarkan rambut panjangnya yang belum kering menimpa bantal. Moza mencoba untuk tidur dengan memejamkan matanya. Sayang, dia kesulitan untuk tidur. Bayangan Leo sedang menikmati syurga dunia bersama Astrid terus berkelebat dalam benaknya. Membuatnya sesak dan kemudian sulit untuk tidur. Alhasil, Moza berulang kali pindah posisi saja.
Hingga tiba-tiba...
JEGGAAAR!!!
Suara petir yang luar biasa besar itu membuat Moza terlonjak kaget. Lebih kaget lagi ketika tiba-tiba lampu padam. Moza pun bingung dalam kegelapan. Apa yang harus dia lakukan dalam keadaan seperti ini? Dia tidak tahu dimana letak lilin karena pembantunya yang menyimpannya. Hanya saja dia yakin ada di bawah.
Moza pun memutuskan untuk turun dari tempat tidur dan merayap mendekati meja tempatnya tadi menaruh ponsel. Dengan susah payah, bahkan beberapa kali kakinya tersandung, akhirnya Moza berhasil menemukan ponselnya.
"Alhamdulillah...gumamnya. Dia lalu mengambil ponsel tersebut dan menyalakan senter ponselnya. Setelah memakai hijab sorongnya dan dengan sinar dari lampu itu, dia melangkah keluar untuk mencari lilin yang ada di lantai bawah. Tapi baru beberapa langkah meninggalkan kamar, lampu ponselnya pun ikut padam. Rupanya ponselnya sudah kehabisan baterai. Moza menghela nafas kecewa.
"Aduh, bagaimana ini?"
Membuang kebingungannya, Moza memutuskan untuk terus melangkah. Bagaimana pun dia harus mendapatkan lilin agar rumah ini tidak gelap gulita.
Dengan langkah hati-hati, Moza terus berjalan dengan merayap. Hingga akhirnya dia merasakan langkahnya sudah sampai di anak-anak tangga menuju lantai bawah. Moza pun menuruni anak-anak tangga itu dengan hati-hati.
"Mas! Mas Bayu!" seru Moza memanggil sopir pribadi Leo tersebut. Dia tidak tahu Bayu tidur dimana. Di sofa ruang tamu atau di tempat lainnya. Tapi dia ingin memastikan pria itu masih ada di rumah ini. Di saat seperti ini, tentu dia merasa takut sendirian. Kehadiran Bayu dipastikan akan membuatnya sedikit merasa tenang. Dia bersyukur Leo meminta Bayu menemaninya.
"Mas! Mas Bayu!" seru Moza lagi karena tidak juga mendapat sahutan dari Bayu. Kini kakinya sudah menyentuh lantai bawah. Keadaan yang gelap gulita membuat Moza tidak bisa melihat apa-apa. Apalagi melihat Bayu.
"Mas Bayu kemana, sih? Jangan sampai dia meninggalkan aku sendirian dalam keadaan menyeramkan seperti ini," ucap Moza lirih pada dirinya sendiri. Dia tidak menyadari kalau Bayu berdiri di belakangnya dengan pandangan hewan buas memindai mangsa.
Bayu yang memiliki nama asli Arthur Rajendra adalah seorang cassanova yang kaya raya dan merupakan seorang pemilik sebuah perusahaan yang hobi menyamar itu, terbiasa mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mudah. Dan saat ini, dia menginginkan Moza. Dia menginginkan tubuh Moza.
'Moza... kamu memintaku untuk tidak melangkahkan kaki di lantai dua tempat kamarmu berada. Tapi kamu justru turun dan mencariku. Kamu benar-benar memancing hasratku sebagai seorang laki-laki, Moza. Selama ini kamu dan Leo tidak tau siapa aku. Aku adalah orang berbahaya buat Leo. Tapi buat kamu, aku akan menjadi orang yang membahagiakan kamu. Akan aku buat kamu menjadi milikku. Cepat atau lambat,' gumam Bayu dalam hati dengan terus mengarah pandang pada punggung Moza.
Bayu alias Arthur melangkah mengikuti langkah Moza yang tengah mencari dirinya. Meskipun tanpa penerangan, mata coklatnya mempunyai pandangan yang terang dan tajam seperti elang. Dalam keadaan gelap gulita, samar-samar Bayu bisa melihat bayangan lekuk tubuh Moza yang meskipun memakai baju tertutup selalu membuat khayalannya melambung jauh ke atas tempat tidur.
Moza terus melangkahkan kakinya menuju ke arah dapur. Tentu saja dengan arah yang menerka. Dia memutuskan untuk mencari lilin terlebih dahulu. Jika sudah menemukan lilinnya, baru dia akan mencari Bayu. Dia menduga, Bayu tertidur lelap di suatu tempat di rumah ini karena kelelahan. Sejak sebulan lalu, Bayu adalah salah satu orang yang sibuk membantu mempersiapkam pernikahan Leo dan Astrid. Jadi wajar jika Bayu tertidur pulas dan tidak menyadari lampu yang padam.
Moza masih melangkah dengan merayap. Tapi dia lupa kalau lantai ruang tengah lebih tinggi daripada dapur. Ada dua anak tangga di sana. Otomatis, tubuh Moza tak seimbang dan hampir roboh. Tapi Bayu yang dari tadi mengikuti langkahnya dan sudah berfikir yang tidak-tidak, langsung menangkap tubuh Moza dan memeluk wanita itu erat.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Istri Yang Sabar
Fiksi Penggemar"Bagaimana saksi? Sah?" "Sah." "Sah." Lafadz hamdalah berkumandang ke seluruh ruangan. Semua wajah yang ada di ruangan itu terlihat bahagia dan berseri-seri, kecuali satu orang wanita berhijab yang duduk di belakang mempelai pria. Wanita itu bernama...