Son, Look at Your Family Too

72 6 7
                                    

Pagi, setidaknya itu yang dikatakan oleh anak laki-lakiku. Melalui anakku, Lukman, aku tahu kalau sekarang sudah pagi. Usiaku genap menginjak 63 tahun esok hari di Oktober ini. Aku mungkin pelupa, tapi soal hari ulang tahun, cukup jelas aku mengingatnya. Juga tentang almarhumah istriku tercinta, Shely.

"Ayah, sarapan dulu yuk, setelah itu kita berjemur seperti biasa." Lukman mengambil kursi roda, sudah lama aku tidak bisa berjalan. Diabetes menghancurkan kakiku. Setelah kematian istriku, aku tidak bisa santai sedikit. Makanan dan minuman manis menjadi penenang, padahal aku tahu di usia 30, aku sudah terkena diabetes.

Lukman menggendongku dengan lembut. Ah, aku ingat ketika dia masih bayi, kecil, kurus, dan jangkung. Sekarang tubuhnya bugar berisi, otot-ototnya gagah menopang, urat-urat tangan terlihat sekilas ketika selesai menggendongku. Anak laki-laki kita tumbuh dengan baik, Sayang.

"Lukman, ambilkan cincin ibumu di laci!" ucapku.

"Ayah, laki-laki enggak boleh pakai cincin emas loh." Aku menghela napas.

"Kalau begitu ambilkan cincin Ayah," ucapku. Lukman tersenyum.

"Baik, kalau Ayah mau. Aku ambil dua-duanya ya, tapi yang punya ibu jangan dipakai, takutnya bahaya kalau pakai cincin emas." Aku mengangguk sambil membalas senyumnya.

Menu sarapan hari ini adalah bubur, gigiku kurang dari sepuluh biji dan rapuh, untuk makan daging sedikit saja tidak terkunyah.

"Aku suapin ya, Ayah." Lukman memegang piring dan sendok, bersiap mengaduk bubur.

"Tidak perlu, Sayang. Lihat, istri kamu kerepotan habis masak. Kamu suapi anakmu saja. Ayah bisa kok sendiri." Aku mengulurkan tangan mencoba meminta piring dan sendok dari tangan Lukman.

"Tapi, Ayah! Anak laki-laki bukannya milik orang tuanya walaupun sudah menikah?" tanya Lukman.

"Ayah paham maksudmu. Namun, laki-laki yang baik tidak akan menumbalkan salah satunya. Kamu punya istri dan anak perempuan. Bukannya laki-laki hebat adalah yang mengutamakan wanitanya daripada dirinya?" ucapku. Lukman menghela napas dan membiarkanku makan.

Aku makan dengan tenang sambil melihat keluarga kecil anakku tertawa. Sesekali mereka melihatku dan tersenyum. Rini, cucuku, senyumannya manis sekali. Ah, andai kamu masih di sini, Sayang.

Rini tiba-tiba datang menghampiriku dengan senyuman polosnya. Dia membawakan setangkai bunga dan mengatakan hal yang menggemaskan.

"Kakek, ini buat Kakek."

"Terima kasih, Sayangnya Kakek."

"Kakek! Kakek! Kaki Kakek pasti bisa tumbuh lagi 'kan kalau dikasih pupuk, kayak bunga itu, iya 'kan Kek?" Lukman terlihat panik melihat tingkah anaknya. Dia mencoba membawa anaknya, tapi aku mencegahnya dengan tersenyum dan menunjukkan telapak tangan.

"Rini, cucu Kakek yang pintar. Kaki Kakek tidak bisa tumbuh lagi, soalnya kaki Kakek tidak punya akar kayak pohon yang menghasilkan bunga ini. Namun, kamu jangan khawatir, Kakek tetap bisa menemani kamu dengan kursi roda ini," jawabku mencoba memberikan fakta yang menyakitkan dengan cara yang kuharap bisa diterima.

Rini tiba-tiba menangis. Ah, kurasa aku salah menjelaskannya.

"Ayah! Kaki Kakek tidak bisa tumbuh lagi!" Rini menangis di pelukan ayahnya. Ibunya datang menggendong dan mencoba menenangkannya. Aku menghela napas. Lukman menghampiriku.

"Maaf ya Ayah, kalau Rini agak sedikit menyakiti perasaan."

"Ayah yang harusnya minta maaf karena membuat keributan pagi-pagi begini," ucapku.

"Tidak, Ayah. Kita memang harus memberikan penjelasan yang jujur meskipun sedikit menyakitkan, kuharap Rini akan mengerti kelak," jawab Lukman. Aku pun tersenyum kepadanya.

"Kau sudah menjadi Ayah yang hebat, Nak."

"Siapa dulu, Ayahnya!" balasnya. "Yuk, kita berjemur dulu, Yah," lanjutnya.

"Kamu tahu, Nak. Ibumu yang paling berjasa merawat kamu, Ayah lihat kotoran kamu saja mual-mual."

Kami tertawa. Lukman mendorong kursi roda ini menuju teras. Aku memegang kakiku yang dua-duanya telah tiada. Seolah kedua telapak tangan ini merindukan rekan kerjanya, kedua kaki yang malang.

"Ayah, maaf ya atas perkataan Rini," ucap Lukman.

"Tenang, Lukman. Ayah hanya teringat sedikit kenangan dengan kedua kaki Ayah."

Setelah sampai teras. Aku menanyakan jam ke Lukman, dia bilang sekarang sudah jam delapan pagi. Matahari jam segini memang sempurna hangatnya. Waktunya berjemur.

"Rini mungkin kelak akan mengira kaki Ayah bisa berfotosintesis kalau ketemu sinar matahari." Aku tertawa.

"Ya, enggak gitu juga, Yah," balas Lukman.

Aku memegang kedua cincin di tanganku. Satu punya istriku, satu punyaku. Tentu saja yang karatan ini punyaku.

"Cincin Ayah, kenapa sudah karatan, sementara punya Ibu masih bagus?"

"Mau jawaban serius apa ngarang?" tanyaku iseng.

"Ah, ada-ada aja nih."

"Oke, jawaban ngarangnya, karena wanita itu berharga seperti emas, tapi wanita tidak sekeras pria. Coba saja kamu perhatikan cincin emas ini, mudah bengkok. Sementara, pria itu keras, tapi jasadnya mudah karatan, seperti Ayahmu ini."

"Baik, baik. Sekarang jawaban seriusnya apa?" tanyanya.

"Jawaban seriusnya, itu cincin ibumu harganya jutaan, cincin Ayah beli di pasar malam 20.000 perak." Aku tertawa.

"Lah, kenapa Ayah enggak beli yang bagusan?"

"Waktu itu Ayah fokus ke membesarkan kamu, Ayah cuma penulis yang penghasilan aja hampir tidak ada, Sayang. Cincin ini jangan dilihat harganya, tapi fungsinya. Fungsinya adalah untuk menunjukkan ikatan Ayah dan Ibumu yang sudah menikah. Bentuk kesetiaan."

"Aku mengerti sekarang, Ayah." Aku menengok lurus pada wajah anakku. "Semahal apa pun cincinnya, kalau kesetiaan itu tidak ada, maka tidak ada artinya. Begitukah?" lanjut Lukman.

"Anak pintar!" Lagi-lagi kami tertawa bersama. "Sekarang pergi bantulah istrimu di dalam sana, lagi repot kayaknya," lanjutku.

"Tapi, Ayah?" Aku menghela napas kembali.

"Anakku, lihat keluargamu juga," ucapku sambil memandang cincin.

"Tapi Ayah keluarga Lukman juga," balas Lukman.

"Iya, Sayang. Ayah mau mesra-mesraan sama Ibu kamu dulu lewat cincin ini. Sana, bantu istrimu. Kasihan sendirian dia."

Lukman pun menurut, dia bergegas pergi ke dalam menghampiri istri dan anaknya.

"Istriku, anak kita sudah jadi orang hebat. Kamu pasti bangga dengannya di sana."

Tiba-tiba air mataku menetes.

"Kau tahu rasanya kaki dipotong, Sayang? Itu tidak seberapa menyedihkan ketika aku kehilanganmu. Aku bingung, sebingung-bingungnya, sungguh."

"Cincin ini, biar mereka berdua-duaan di laci sana, seperti kita dulu. Sudah berapa tahun kamu pergi, Sayang? Ah, aku sudah lupa. Namun, rasanya baru kemarin. Sakitnya selalu terasa, sedih sampai ke tulang. Kakiku yang tidak ada seolah masih ada dan ingin segera melangkah menyusulmu."

"Sedang apa kamu di sana? Aku rindu."

Tiba-tiba Lukman kembali dan memelukku. Air mataku mengalir deras, membasahi bajunya.

"Ayah, sudah ya Ayah, biarkan Ibu tenang di sana."

Aku diam, merasakan kehangatan anakku. Anak yang dulu kugendong dengan gembira. Kemunculannya benar-benar membuatku tidak percaya. Aku tahu dia sedang menangis. Air matanya mengalir di leher dan punggungku. Aku pun ikut memeluknya.

"Tenang, Nak. Ayah cuma rindu."

"Tapi, setiap pagi begini, Yah," balasnya.

"Ayah akan selalu merindukan ibumu, Nak. Terima kasih ya, sudah mau selalu menemani Ayah."

Lukman kembali memelukku.

-selesai-

Pagi Hari di Masa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang