TERAKHIR

6 1 0
                                    

"Dua hari lagi Idul Fitri. Besok pagi kujemput untuk ziarah kubur."

Suara seorang wanita terdengar dari ponsel. Pria lanjut usia yang sedang duduk di kursi rodanya itu menarik lemah bibirnya, lalu menyahut, "Iya. Hati-hati di jalan ya."

Panggilan langsung dimatikan sepihak.

Pria tua itu hanya mengerjap mendengar anak perempuannya mematikan telepon tanpa berpamitan. Pria tua itu mengulum bibir dan menyerahkan ponsel kepada anak muda di belakangnya.

"Ini sudah waktunya makan siang, Pak," ucap anak muda bertubuh tinggi itu. Pakaiannya rapi, senyumnya hangat, ia sudah siap mendorong kursi roda si Pria Tua. "Saya antarkan ke ruang makan ya." Dia mendorong pelan kursi rodanya. Tanpa menyahut pun lelaki itu tahu bahwa si Pria Tua sudah lapar dan ingin minta diantar ke ruang makan.

Pria itu mengangguk kemudian setelah kursi roda didorong, sebelum mengucapkan, "Terima kasih."

***

Lani bersyukur di tempat pemakaman umum yang kelebihan kapasitas ini, makam ibu dan kakaknya bisa diletakkan bersampingan. Ia tidak perlu pergi bolak-balik hanya untuk mengunjungi keduanya.

Pagi ini, ia dan ayahnya berziarah ke makam anggota keluarga sebagaimana tradisi tahunan mereka. Agenda ini sudah dilaksanakan sejak Ibu meninggal beberapa tahun yang lalu. Satu-satunya alasan kenapa mereka mengunjungi orang-orang ini adalah untuk mendoakan mereka terlebih sebentar lagi sudah masuk bulan Syawal.

Lani berjongkok, menabur bunga-bunga yang sudah ia beli dari depan pemakaman. Ayahnya di kursi roda hanya memperhatikan dengan mulut komat-kamit membaca doa.

Setelah ditabur, Lani menatap nisan orang kesayangannya. "Nanti kami kembali. Sekarang, tenanglah di sana." Perkataan Lani barusan membuat ayahnya teringat dengan mimpi Lani yang ia ceritakan tadi saat di perjalanan. Akhir-akhir ini, dia sering memimpikan ibunya, seakan-akan ibunya ingin 'dijenguk'. Lani menunggu waktu yang tepat untuk bisa berziarah ke makamnya. Sebenarnya hanya makam Ibu yang ingin ia doakan, dia malas untuk mendoakan kakak laki-laki yang terkubur di sampingnya.

Lani bergegas bangkit dan mengajak ayahnya pergi. Pria paruh baya itu hanya mengangguk dan membiarkan Lani mendorong kursi rodanya. Untuk mencairkan suasana, ayahnya iseng bertanya. "Kamu tadi mendoakan Sultan tidak?"

"Tidak. Buat apa?" Lani berhenti. Sang ayah kembali tersenyum pahit mendengar jawaban itu.

"Ayah pasti mendoakannya, jadi untuk apa aku ikut berdoa?" Kata-kata itu menyiratkan kekesalan si gadis kepada kakaknya yang sudah berpulang. Sudah tiga tahun mereka berpisah, tetapi rasa tidak suka itu masih ada sampai sekarang.

"Ayah mendoakan keduanya, sebagaimana biasanya." Lani dapat merasakan bahwa mata ayahnya meredup sedih. "Ayah sudah tahu di mana salah Ayah. Ayah ingin memperbaikinya, tetapi sepertinya sudah sangat terlambat.

***

30 tahun yang lalu, seorang bayi laki-laki lahir ke dunia. Kehadirannya disambut meriah oleh orang tuanya yang penyayang. Tiga tahun setelahnya, seorang bayi perempuan melengkapi keluarga tersebut.

Anak laki-laki itu bernama Sultan, sedangkan si anak perempuan bernama Lani. Ayah dan ibu mereka sering dipanggil Pak Hadi dan Bu Maya. Mereka hidup sebagai keluarga kecil yang berkecukupan.

Namun, semuanya perlahan memburuk saat Pak Hadi menerapkan budaya patriaki dalam keluarganya. Ia lebih mengutamakan anak laki-lakinya daripada Lani. Saat remaja, Lani sempat protes pada ayahnya karena Sultan terlalu dimanjakan. Namun, ayahnya malah memrotes Lani yang terlalu banyak komplain dan ibunya tidak mampu mendukung Lani. Alhasil, Sultan pun berbuat sesuka hatinya dan meremehkan kepercayaan Ayah padanya.

Pagi Hari di Masa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang