Nikmati Mentari Pagi Sebelum Mati

13 1 0
                                    

Hari itu, langit masih berwarna keunguan. Mentari baru saja menampakkan sinarnya yang lembut, mengusir embun yang menempel di kaca jendela. Di sebuah rumah tua yang asri, berdiri di ujung desa, hidup seorang lansia bernama Pak Arman, usianya sudah mencapai 74 tahun. Rambutnya memutih seluruhnya, tapi tubuhnya masih tegap, meski langkahnya sudah mulai pelan.

Pagi itu, seperti biasa, Pak Arman bangun pukul 5. Sebuah kebiasaan yang sudah terbentuk selama puluhan tahun. Saat bekerja dulu, dia biasa bangun sebelum fajar, bersiap-siap untuk berangkat ke kantornya yang jauh di kota. Tapi sekarang, ketika hiruk-pikuk pekerjaan sudah lama berakhir, dia tetap terjaga pada jam yang sama. Baginya, pagi adalah satu-satunya waktu di mana dia masih merasa hidup. Dalam kesunyian dan ketenangan, dia bisa merenung, mengingat masa-masa muda yang penuh gairah.

Dengan perlahan, Pak Arman duduk di tepi tempat tidur, menggoyangkan kakinya ke lantai dingin. Istrinya, Bu Mira, masih terlelap di sebelahnya, dengkurnya terdengar pelan dan menenangkan. Pak Arman tersenyum kecil, mengingat bagaimana mereka berdua dulu bangun bersama, menyiapkan sarapan, dan memulai hari dengan semangat. Sekarang, istrinya lebih sering tidur lebih lama. Kesehatannya yang semakin menurun membuatnya lebih banyak beristirahat.

Pak Arman berjalan menuju dapur, membuat secangkir kopi hitam-tanpa gula, seperti yang selalu dia minum sejak muda. Kopi itu dia nikmati sambil duduk di teras, menatap kebun kecil yang sudah tak lagi seindah dulu. Banyak tanaman yang mati, rumput liar tumbuh di sana-sini, tapi dia tidak punya tenaga lagi untuk merawatnya seperti dulu.

"Pagi yang sepi," gumamnya dalam hati. Mata Pak Arman menyapu pemandangan di depannya, melihat jalan setapak di ujung kebun. Itu jalan yang dulu sering dia dan anak-anaknya lewati, jalan menuju sekolah yang hanya berjarak beberapa kilometer dari rumah. Sekarang, jalan itu hanya digunakan oleh beberapa tetangga yang lewat, kadang membawa hasil panen atau sekadar berjalan-jalan pagi.

Pak Arman menghela napas. Semua terasa berbeda. Anak-anaknya sudah dewasa, punya keluarga masing-masing, dan jarang pulang. Tak ada lagi riuh tawa atau rengekan kecil di pagi hari. Yang tersisa hanya kesunyian. Tapi dia tidak pernah merasa sedih. Setiap pagi, dia selalu menyambut hari dengan hati lapang, walau kadang rasa rindu pada masa lalu menyergap tiba-tiba.

Dia teringat akan masa-masa ketika hidup terasa begitu penuh. Di usia produktifnya, pagi selalu membawa tantangan baru. Kini, pagi seperti ini lebih banyak diisi dengan nostalgia. Dan meskipun dia sudah memasuki usia senja, pagi tetap menjadi waktu yang istimewa. Waktu untuk merenung, untuk bersyukur atas hidup yang sudah dia lalui.

***

Sementara itu, di rumah yang tidak terlalu jauh dari rumah Pak Arman, seorang wanita lansia bernama Ibu Aisyah, berusia 68 tahun, juga sudah bangun. Namun, berbeda dengan Pak Arman yang masih bisa bangun dengan penuh kesadaran, Ibu Aisyah sering terbangun dengan kegelisahan. Setiap pagi, pikirannya dipenuhi oleh ingatan-ingatan yang datang dan pergi tanpa diminta. Kadang, dia lupa di mana dia berada, atau apa yang baru saja dia lakukan.

Hari ini, Ibu Aisyah duduk di kursi goyang di ruang tamunya, memandangi foto keluarga yang tergantung di dinding. Suaminya sudah meninggal beberapa tahun lalu, dan kedua anaknya tinggal di kota besar, jarang bisa pulang untuk menemuinya. "Mungkin mereka sibuk," pikirnya, mencoba mengusir rasa sepi yang kian menghantui. Tapi, di dalam hatinya, dia tahu bahwa kesepian ini lebih dari sekadar jarang dikunjungi. Ini tentang kenyataan bahwa hidup terus berjalan, bahkan ketika dia merasa tertinggal.

Setiap pagi, Ibu Aisyah berharap ada seseorang yang datang, mungkin anaknya, atau cucu-cucunya yang ceria. Tapi harapan itu sering pupus dengan sendirinya. Hari-hari terus berlalu, dan pagi seperti ini semakin sering terasa seperti teka-teki yang sulit dia pahami. "Apa lagi yang harus aku lakukan hari ini?" tanyanya dalam hati.

Dia berdiri perlahan, mengambil tongkat yang terletak di samping kursinya, lalu berjalan menuju dapur untuk membuat teh hangat. Tangan tuanya bergetar saat menuang air dari ketel. "Ah, tua memang seperti ini," gumamnya sambil tersenyum tipis. Teh itu dia bawa ke teras, dan duduk sambil memandang langit yang masih berwarna jingga keemasan.

Dia tidak lagi merasa perlu terburu-buru. Tak ada pekerjaan yang menunggu, tak ada anak-anak yang harus diurus. Hanya pagi yang sunyi dan waktu yang bergerak lambat. Sesekali, dia menatap jalanan depan rumah, berharap ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Namun, pagi itu tetap tenang, hanya ditemani kicauan burung dan suara angin yang lembut.

***

Pagi bagi para lansia seperti Pak Arman dan Ibu Aisyah memiliki keajaibannya sendiri. Bagi Pak Arman, pagi adalah waktu untuk mengenang dan merenung. Bagi Ibu Aisyah, pagi adalah teka-teki yang penuh kegelisahan, tentang hidup yang terus berjalan meski dia tak lagi ikut berlari di dalamnya.

Namun, di balik semua itu, keduanya tetap menghadapi pagi dengan cara masing-masing. Ada yang menyambutnya dengan senyum, ada yang menyambutnya dengan air mata. Tapi satu hal yang pasti, pagi adalah saat di mana hidup kembali diingatkan, bahwa setiap hari adalah kesempatan baru, meskipun mungkin kesempatan itu terasa berbeda dari masa-masa yang telah berlalu.

Di masa senja, pagi membawa mereka pada perjalanan batin yang lebih dalam. Mereka mungkin tak lagi sibuk dengan rutinitas kerja atau hiruk-pikuk dunia luar, tetapi pagi tetap menjadi pengingat bahwa hidup mereka masih memiliki makna. Setiap langkah, setiap embusan napas, adalah bagian dari kisah panjang yang mereka jalani. Dan meskipun pagi di masa senja terasa lebih sepi, di dalam hati mereka, ada kehangatan yang tetap tersisa, yang datang dari kenangan dan cinta yang pernah mereka miliki.

-selesai-

Pagi Hari di Masa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang