All Alone.

1.8K 26 0
                                    

Nala mengerjapkan matanya yang berkunang-kunang. Gelapnya malam membuat bulu kuduk Nala berdiri. Perasaan Nala mengatakan kalau Ia sudah mati, kalau ini alam kematian.

Darah yang terasa di bibirnya dengan sedikit pasir dan air asin menyadarkan Nala kalau Ia belum mati. Nala melihat kesekelilingnya tapi hanya ada hutan gelap di belakangnya dan lautan luas di hadapannya membuat Nala yakin entah bagaimana pesawatnya terjatuh di pulau antah berantah ini.

Samar Nala melihat ada tubuh laki-laki di ujung pantai yang terapung berpegangan dengan lemah ke koper besar. Tubuh laki-laki itu bisa terseret ombak kapan saja dan rasa cemas kalau laki-laki itu masih hidup membuat Nala mencoba berdiri tapi rasa nyeri di kakinya yang berdenyut membuat Nala menggigit bibirnya. Sepertinya kakinya terkilir.

Tapi nyawa laki-laki yang bisa saja ada di tangannya itu membuat Nala segera memaksa dirinya untuk masuk ke air setengah berlari sampai akhirnya Ia meraih tubuh laki-laki itu.

Saat berhasil menarik tubuh laki-laki itu ke pinggir pantai, dengan panik Nala memompa dada laki-laki itu dengan ritme yang sudah Ia pelajari di pelajaran pertolongan pertama saat SMA. Wajah laki-laki ini entah kenapa begitu familiar tapi gelapnya malam membuat Nala kesulitan untuk melihat wajah laki-laki ini dengan jelas.

Saat pompa dada dan tamparan tidak berhasil, Nala mau tidak mau harus melakukan CPR mulut ke mulut karena Nala ingat kata pelatihnya bahwa kemungkinan besar saat menolong korban tenggelam, air memenuhi saluran nafasnya.

Gugup karena seumur hidupnya Nala si pecundang yang terlalu miskin dan terlalu sibuk belajar untuk mengalahkan rivalnya Ia tidak pernah bersentuhan bibir dengan seorang laki-laki, Nala memberanikan diri sambil memejamkan matanya Ia melakukan CPR dengan benar untuk membantu laki-laki malang ini.

Laki-laki itu terduduk dan terbatuk mengeluarkan air yang tadi menutup saluran nafasnya dan mata Nala membelalak dengan sempurna begitu Ia melihat wajah yang begitu Ia benci. Wajah yang begitu ingin Ia tinju. Wajah yang membuat masa-masa sekolahnya terutama SMA-nya begitu sengsara.

Ralph Axello. Yang biasa dipanggil Axello adalah rival terbesar di hidup Nala melebihi rivalnya yang lain yaitu rasa malas. Orangtua mereka bersahabat sejak SMA dan memutuskan untuk tinggal bertetangga di Los Angeles.

Saat Nala dan Axello lahir dengan jarak empat bulan, orangtua mereka "menjodohkan" mereka secara tidak langsung. Membuat Nala dan Axello selalu bersama-sama kapanpun dan dimanapun. Tapi ternyata persahabatan yang diimpikan orangtua mereka membuahkan permusuhan di antara Nala dan Axello.

Setiap tahun Nala dan Axello bergantian menduduki peringkat satu di angkatan mereka. Mereka mencoba menyabotase satu sama lain. Membuat buku satu sama lain hilang, membuat rival mereka di hukum guru, mengganggu jam belajar satu sama lain, dan banyak lagi.

Puncak kesengsaraan dan kebencian Nala terhadap Axello adalah disaat mereka SMA. Nala dan Axello yang selalu bersama untuk mengisengi satu sama lain membuat para siswi yang mengidolai Axello yang tampan di mata mereka geram dan cemburu sehingga mereka ikut andil dalam menyabotase Nala.

Maka dari itu Nala mengambil universitas yang berbeda dari Axello dan tidak lagi bertemu dengan Axello kecuali disaat orangtua mereka melakukan makan bersama tentunya.

Dan disinilah Nala menatap Axello yang sedang terbatuk, belum menyadari kalau Nala-lah yang menyelamatkan nyawanya barusan.

"Terim— NALA?! LO— LO NGAPAIN?!" Suara lemah Axello mendadak keras begitu Ia melihat wajah memerah Nala karena marah sekaligus malu "ciuman pertamanya" Ia berikan untuk seorang Axello.

Forest BirthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang