8. Deep Talk

81 15 3
                                    

Shion menguap lebar. Matanya sudah berair menandakan dirinya yang sudah sangat mengantuk. Waktu menunjukkan pukul 12 malam. Shion menutup bukunya. Ia baru saja selesai belajar dan hendak tidur tapi tenggorokannya yang kering membuatnya memutuskan untuk pergi mengambil air ke dapur.

Melangkah menuruni tangga, dahinya mengernyit melihat lampu di dapur yang menyala. Ia melangkah mendekat dan melihat ada Seon yang sedang menyeruput kopi. Shion terdiam, ia ragu apa harus lanjut masuk ke dapur atau kembali ke kamarnya tapi deheman Seon menyadarkannya.

"Kenapa belum tidur?"

Shion dengan ragu melangkah mendekat. "Baru beres belajar, Pa."

Seon mengangguk. Ia kembali menyeruput kopinya hingga tandas. "Kenapa turun?"

Shion membuka kulkas. Mengeluarkan sebotol air dingin yang baru saja hendak ia buka tutupnya. "Haus, Pa. Lupa bawa air ke kamar."

Seon mendengus. "Jangan minum air dingin. Udah malam. Minum air hangat aja."

Shion menghentikan kegiatannya yang baru saja membuka tutup botol. Ia kembali memasukkan botol ke dalam kulkas. Shion menahan senyumnya. Rasanya baru kali ini, Seon berbicara cukup panjang pada dirinya. Biasanya ia dan Seon hanya berbincang seputar tugas sekolahnya.

Shion menuruti ucapan Seon. Ia mencampur air panas dan air dingin dari dispenser untuk membuat segelas air hangat. Shion sudah mengangkat gelasnya untuk kembali pergi ke kamar.

"Bisa temani Papa sebentar?"

Shion meneguk ludahnya susah payah. Langkahnya terhenti. Ia tak percaya dengan ucapan Seon barusan.

"Shion?"

Shion kembali membalik tubuhnya dan melangkah mendekat walau perasaannya bingung dengan sikap Seon saat ini.

Shion duduk di hadapan Seon yang kini menunduk. Jari-jari Seon mengetuk meja memecah kesunyian. "Kamu sudah 17 tahun, Shion."

Shion mengangguk tapi ia bingung ingin merespon apa. Seon kini menatapnya dengan raut wajah sedih yang berhasil membuat Shion tiba-tiba ikut sedih. "Kamu sudah tumbuh jadi anak pintar, anak hebat."

Shion tersenyum. Tidak menyangka kalimat yang selama ini ingin ia dengar akhirnya benar-benar terucap dari mulut sang Papa. Seon kini menatapnya sambil tersenyum lebar.

Hal yang semakin membuat Shion menahan tangis karena baru kali ini Seon tersenyum tulus padanya. Refleknya membuat Shion berpindah duduk dari di hadapan Seon menjadi di sebelah sang Papa.

"Aku boleh peluk Papa?"

Pertanyaannya tak dijawab tapi Seon yang lebih dulu memeluknya. Mengusap punggungnya membuat Shion mati-matian menggigit bibirnya agar suara tangisannya teredam.

Seon mencium pucuk kepalanya. Ia merasakan Shion membalas pelukannya dengan sangat erat. Setelah melonggarkan pelukannya, Seon terkekeh lalu menghapus air mata Shion. "Kok nangis?"

Pakai ditanya lagi. Shion kan susah menjelaskannya. Shion hanya memasang wajah cemberut ketika Seon sudah tak memeluknya. "Kamu ngantuk gak? Papa mau cerita sama kamu."

Shion menggeleng dengan cepat. Ya, memang tadi dia ngantuk sih. Dia juga cuma mau minum tadinya tapi karena Seon dan perubahan sikapnya membuatnya bahagia, rasa kantuknya langsung hilang begitu saja.

"Beneran? Besok kamu sekolah loh."

Shion mengangguk. Ia me-melototkan matanya. "Enggak, Pa. Ni liat mata aku masih terbuka lebar, kan? Lagian aku udah biasa kok begadang."

Jadi hati Seon yang terasa nyes karena ia paham ucapan Shion. Shion terbiasa kurang tidur karena dirinya. Shion terbiasa terjaga sepanjang malam karena paksaan dirinya yang terus menyuruh anaknya untuk belajar.

PAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang