9. A day with Papa

65 15 6
                                    

Shion terbangun dengan perasaan bahagia. Ia tau ini akibat deep talk semalam. Rasanya masih seperti mimpi. Seon berusaha berubah dan menjadi Papa yang baik untuknya. Shion bergegas bersiap untuk sekolah. Ia menuruni tangga dengan langkah riang tapi langkahnya terhenti tepat saat ingin duduk di meja makan.

"Selamat pagi, tuan muda."

Shion melotot. Ia menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan bukan dirinya yang baru saja disapa oleh seorang wanita paruh baya yang kini menyajikan banyak hidangan di meja.

Tak mendapati siapapun selain dirinya dan wanita di depannya. Shion kembali memerhatikan sekelilingnya. "Bener kok ini rumah Papa tapi kok?"

"Selamat pagi, Tuan." Wanita tadi kembali menyapa sambil membungkuk ketika Seon duduk di hadapan Shion.

Shion memandang bingung pada Seon yang kini terkekeh. "Pagi, Bi. Ohiya Shion perkenalkan, ini Bi Inah yang mulai sekarang akan bekerja di sini."

"Hah?"

Ini gak ada angin, gak ada hujan kok tiba-tiba Seon pakai pembantu? Shion menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia merasa ini sangat aneh. Ia sudah biasa hidup hanya berdua dengan Seon jadi ketika melihat ada orang lain selain ia dan papanya di rumah ini. Shion jadi sedikit bingung?

Bi Inah tersenyum pada Shion yang masih memandangnya bingung. "Perkenalkan saya Bi Inah, tuan muda. Semoga tuan muda bisa menerima kehadiran saya seperti tuan dan nyonya."

Ucapan Bi Inah membuat Shion menatapnya dengan serius. "Nyonya?"

Seon mengangguk. "Bi Inah ini dulu sudah bekerja di rumah ini semasa mama kamu masih hidup, nak. Tapi Bi Inah berhenti ketika suaminya meninggal dulu dan papa kehilangan kontaknya. Kebetulan baru-baru ini Papa mendapat kontaknya Bi Inah lagi jadi Papa hubungi dan Bi Inah mau kembali bekerja untuk keluarga kita."

Shion hanya mengangguk. Ia dan Seon mulai sarapan dengan tenang. Setelah melihat makanan Seon sudah habis. Shion menendang kaki sang papa dengan kakinya. "Kenapa tiba-tiba ada pembantu, Pa? Papa ada kerjaan ke luar kota?"

Seon menggeleng. "Gak cuma pembantu. Di luar juga sekarang ada satpam dan supir buat antar Papa. Kamu juga bisa pakai supir papa kalau lagi malas bawa motor sendiri."

Shion melotot. "Aku seneng papa berubah tapi kok ya drastis banget, Pa? Aku jadi ngerasa gak enak."

Seon menarik tangan Shion untuk ia genggam. "Jaga-jaga, Shion. Kita gak tau apa yang bakal terjadi di masa depan tapi yang harus kamu tau. Papa pakai jasa mereka biar ada yang ikut jaga kamu selain Papa. Papa takut kamu kenapa-napa. Lagian, kamar di rumah ini banyak. Masa yang kepake cuma 2 doang? Kamu juga gak pernah tuh bawa temen kamu mampir ke sini. Sayang dong rumah gede yang ngisi cuma 2 orang aja."

Seon benar tapi tetap saja Shion jadi overthinking. Entah kenapa rasa bahagianya seperti masih dilapisi oleh perasaan mengganjal. "Papa udah selesai. Mau langsung ke kantor. Kamu mau bareng Papa?"

Shion menggeleng. "Aku juga langsung aja, Pa." Shion menarik tangan Seon untuk ia salimi.

Ketika hendak menarik tangannya yang sudah selesai salim tangannya malah ditahan oleh Seon. Papa-nya itu mengeluarkan 3 lembar uang berwarna merah dan meletakannya ke tangan Shion.

"Buat jajan."

"Pa, kebanyakan. Lagian transfer-an papa masih ada."

Seon berdecak. Anaknya ini kenapa selalu protes sih? "Udah gapapa. Ini buat jajan. Yang papa transfer, kamu tabung aja. Kamu itu udah SMA, Shion. Kebutuhan kamu pasti banyak. Lagian selama ini, Papa gak pernah tuh liat kamu ngerengek minta uang ke papa. Buat apa kamu punya Papa kaya kalau gak kamu porotin?"

PAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang