6. Ketahuan

90 15 0
                                    

Seon kembali mengamuk. Hal itu membuat Shion pasrah kena cambukan lagi. Seon berpikir Shion mengabaikan peringatannya karena kembali pergi bermain. Padahal Shion terlambat pulang sekolah karena ia mampir ke makam sang mama. Ia hanya sebentar di makam sang mama dan saat akan pulang, hujan turun dengan derasnya membuat Shion akhirnya berteduh untuk menunggu hujan reda.

Menunggu hujan reda rasanya sia-sia karena telah menunggu selama 1 jam juga hujan masih turun dengan lebatnya membuat Shion akhirnya mengendarai motornya dan pulang hujan-hujanan. Sampai di rumah ketika senja membuat Shion bergegas masuk tapi yang ia dapat malah sebuah tamparan dan makian. Tak cukup sampai di situ, Seon kembali mencambuknya. Shion hanya bisa pasrah. Tubuhnya benar-benar lelah.

Badannya yang basah kuyup sudah menggigil tapi Seon tak peduli dan masih menghukumnya. Shion tersenyum. Baru tadi ia curhat pada sang mama tentang bagaimana baiknya Seon merawatnya selama ini.

"Papa baik, ma. Papa begini karena papa sayang aku kan, ma?" Batin Shion.

Bunyi pintu yang kembali terbuka tak disadari Seon yang masih emosi dan tak berhenti menyakiti Shion.

"APA-APAAN KAMU, KAK SEON?!"

Shion terdiam begitu juga Seon yang berhenti mencambuk dirinya. Di depan keduanya kini ada Jino dan Jiera *mamanya Jino*

Seon melempar asal gesper yang ia gunakan untuk mencambuk Shion tadi. "Ada apa kamu kemari, Jiera?"

Jiera mendekat dengan wajah yang berlinangan air mata. "JAWAB AKU! APA YANG KAMU LAKUKAN KE SHION, KAK?"

Seon menghela nafasnya. Ia melangkah maju berusaha mendekat pada Jiera, sang adik. Jiera mundur tiap Seon melangkah maju. "Kamu masih ngedidik Shion sekeras ini, kak?"

Jino mendekat pada Shion. Ia mengajak adiknya itu untuk duduk di sofa. Menyentuh tangan Shion yang begitu dingin membuat Jino sadar bahwa Shion baru datang dari luar karena di luar sedang hujan deras. "Yon, lo bebersih dulu gih."

Shion hanya mengangguk. Ia naik menuju kamarnya diikuti Jino yang diberi kode Jiera untuk meninggalkannya berdua dengan kakaknya.

Seon memandang kedua tangannya. "Aku harus bisa buat Shion jadi orang sukses, Ra."

Jiera terkekeh tapi sambil menangis. "Tapi gak harus kamu siksa juga, kak."

Jiera menusap air matanya. "Aku  pikir kamu sudah berubah, kak. Kamu tau kan gimana syoknya aku pertama kali liat kamu mukul Shion cuma karena dia lupa ngerjain pr."

Jiera benar. Itu terjadi ketika Shion baru menginjak kelas 1 smp. "Aku udah negur kamu waktu itu. Aku udah ngingetin kamu kalau kejadian itu cukup sekali dan gak boleh keulang lagi tapi apa? Kenapa aku baru tau sekarang?"

Seon duduk di sofa sambil memijit pelipisnya. "Aku begini biar Shion fokus untuk masa depannya, Ra. Aku gak suka liat dia terlalu banyak bermain dengan teman-temannya yang gak jelas itu."

Jiera menggeleng heran. "Aku udah pernah bilang ke kamu. Kalau kamu merasa kewalahan ngerawat Shion sendirian lebih baik kamu nikah lagi. Kasih ibu baru buat dia biar kam--"

Ucapan Jiera terhenti karena Seon memandangnya tajam. "Aku cinta Sandra, Ra. Dia cinta pertama dan terakhirku. Aku gak akan nikah lagi."

Jiera memandang kesal Seon. "Kalau kamu memang cinta Kak Sandra kenapa kamu tega nyiksa anak kandung kalian sendiri?!"

Seon menghela nafasnya gusar. "Sandra meninggal ketika dia melahirkan Shion. Sedari kecil yang membantu aku merawat Shion cuma kamu. Aku juga cukup tau diri untuk tidak merepotkan kamu lebih banyak karena kamu juga punya keluarga kecilmu sendiri. Lalu aku harus memutar otak, memikirkan cara bagaimana merawat Shion dengan benar. Aku gunakan caraku sendiri karena gak ada yang bisa aku contoh, Ra."

PAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang