BAB 1: Sampul Cokelat - Chapter 3

24 10 3
                                    

Suara rintik hujan masih terdengar berjatuhan ke lapisan luar tenda. Embusan angin yang masuk sesekali menyibak pintu tenda hingga sedikit menyingkap dan meninggalkan udara dingin ke telapak kaki meski telah dilapisi sarung kaki.

Aku menyalakan lampu yang menggantung di langit-langit tenda, kemudian menyambar jam tangan dan mengarahkannya ke dekat lampu agar aku dapat membacanya. Pukul tiga. Gumamku dalam hati. Aku terdiam sejenak sambil berusaha mengumpulkan nyawa, lantas pelahan membangungkan Alvis dan Dreni yang masih tertidur pulas dengan sleeping bag-nya.

"Bangun, Pis, Dren." ujarku sembari menepuk kecil pundak keduanya. "Jam tiga." ujarku lagi, namun mereka tak menghiraukannya dan kembali tidur dengan menutup wajah dengan lengannya, sementara Alvis membalikkan badannya menghadap ke dinding tenda.

Aku menghela napas sambil berpikir apa saja yang harus aku persiapkan terlebih dahulu sebelum beranjak ke puncak. Aku menyambar ransel hitamku dan memasukkan beberapa barang ke dalamya.

Ini akan menjadi hal yang sangat mengesankan bagiku. Apalagi ini merupakan pendakian pertamaku bersama kedua sahabatku―Alvis dan Dreni. Meski pada awal pendakian, mereka seringkali mengeluh kecapaian atau bahkan kehausan. "Lima menit lagi." kataku, entah kali ke berapa, pada mereka yang sudah tampak bosan mendengarnya. Satu per satu dari mereka duduk di pohon yang berada di track untuk beristirahat sambil meneguk sedikit air minum.

Pendakian kali ini terasa sedikit lebih lama, sebab kami terlalu banyak beristirahat di tengah perjalanan. Namun, aku dapat mengertikan itu. Karena untuk pertama kali, ini akan menjadi hal yang cukup melelahkan. Belum lagi, hujan turun ketika kami baru saja melewati Pos 3, di mana setelah itu tidak ada lagi lahan yang landai untuk kami menggelar tenda. Terpaksa aku mengajak mereka untuk turun kembali ke Pos 3 karena perkiraan hujan akan terus menerus turun sampai nanti malam.

Alvis dan Dreni terduduk di bawah pohon besar dengan berlapiskan jas hujan plastik warna warni yang kini mulai lusuh karena sudah menembus ke pakaian mereka. Sementara aku bergegas untuk membangun tenda, sebab kulihat Alvis dan Dreni sudah tampak kelelahan. Ditambah lagi, Alvis yang tidak terbiasa dengan air hujan yang membuat tubuhnya menggigil.

Aku mempercepat gerakku hingga berhasil mendirikan tenda di pinggiran hutan, menggelar matras di dalamnya, dan segera menyalakan kompor untuk sekadar menghangatkan tangan kami. Alvis masih tampak menggigil meski ia telah berganti pakaian, sementara Dreni mulai sibuk dengan makanannya, sambil sesekali menawarkannya padaku. Aku memanggut.

Aku mengeluarkan sebuah senter dari saku jaketku dan dapat memastikannya menyala dengan baik. Kemudian memakai sarung tangan karena suhu dini hari terasa lebih dingin dari tadi malam. Kunyalakan kompor di geladak dan bergegas menyeduh secangkir cokelat panas. Tak lama, sesuatu perlahan menyentuh pundakku. Aku terperanjat sambil mengerang terkejut. Aku menengok ke arahnya dan mendapati wajah Alvis berada tepat di hadapanku.

"Argh!" Aku mengerang, refleks menepis wajahnya. Alvis terbahak puas, hingga membangunkan Dreni yang langsung celingukan mencari sumber suara. Hidungnya mengendus seakan mencium sesuatu. Aku dan Alvis tertegun menyaksikannya. Tak lama Dreni menyambar cangkir berisi cokelat panas yang baru saja kubuat tadi. Ia menyeruputnya sedikit dan meletakkannya kembali di geladak. "Dih," ujarku, keki.

"Mau, dong!" ujar Alvis, dengan cepat menyambar si cangkir dan segera menyeruputnya. "Aaaaargh ...! Mancap!" katanya dengan suara lantang. Drenis tertawa, aku menggeleng.

"Sudah jam tiga. Ayo kita ke puncak!" ujarku kemudian. Mereka menoleh ke arahku.

"Masih jauh?" tanya Drenis.

"Ng ...,"

"LIMA MENIT!" ujar Alvis dan Dreni berbarengan, memotong. Mereka saling bertukar pandang sebelum akhirnya kami terbahak.

DAIJOUBU!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang