BAB 2: Lembar Pertama

14 7 0
                                    

Senin, 11 Oktober 1999

Waktu menunjukkan pukul 05.00 pagi. Aku yang baru saja dibangunkan oleh suara ayam tetangga, seketika terperanjat dan bergegas mengambil handuk. Saat hendak ke kamar mandi, kudapati Mama yang tengah menghias kue di meja. "Pesanan siapa?" tanyaku seraya menghampirinya.

Ia menoleh sambil berpikir sejenak, "Ini ..., pesanan Ibu Diana." jawabnya sambil kembali menyelesaikan hiasannya. Aku memanggut kemudian kembali beranjak. "Nanti sarapannya Mama siapkan di meja depan, ya! Jangan lupa subuhan dulu!" ujarnya tepat setelah aku menutup kamar mandi. Aku terdiam sejenak untuk mencerna ucapannya.

"Iya. Makasih, Ma." sahutku, kemudian menggantungkan handuk pada paku yang terpasang di belakang pintu.

Oya, sejak kakakku menikah, Mama kembali berjualan kue seperti dulu saat kakakku masih sekolah. Ya, termasuk menerima pesanan juga, walau hanya orang-orang terdekat saja. Mamaku bilang, ia mendapatkan bermacam resep kue dari nenek sejak ia kecil. Sampai akhirnya ia mampu membuatnya sebab ia telah mempelajarinya sejak kecil. Sebetulnya aku juga tertarik untuk masuk ke dunia masak juga, namun aku selalu merasa karena aku seorang laki-laki, jadi agak kurang pantas saja untuk aku menguasainya.

Pemikiranku juga cukup berbeda dengan kakak. Padahal, kakakku juga laki-laki, tetapi ia juga senang memasak. Ia bilang, memasak bisa menghilangkan penat dan stres. Namun, entalah. Aku belum mendapatkan kecocokan dengan apa yang pernah ia bilang. Karena bagiku, hanya bermain sepeda dan mendaki gunung saja yang mampu mengobatinya.

Hari ini cukup cerah. Udara juga tidak terasa begitu dingin. Namun seperti biasanya, beberapa orang masih saja mengeluh dengan hari Senin. Entahlah. Bagiku semua sama saja. Yah, meskipun kondisi jalanan tampak lebih macet dari hari biasanya. Sehingga tak jarang kudapati orang-orang tampak lebih sensitif pada saat itu. Lagipula, mengapa harus hari Senin? Ada apa dengan hari Senin? Bukankah kita melakukan hal-hal seperti biasa itu setiap hari? Sekali lagi, mengapa harus hari Senin?

Tidak ada yang dapat aku simpulkan. Hanya saja, dengan mencintai apa yang biasa kita lakukan setiap hari, mungkin akan bisa membuat kita 'memperlakukan' hari Senin seperti hari-hari lainnya.

Setelah selesai mandi dan bersiap dengan seragam putih abu, aku bergegas keluar dan mengambil sedikit sarapan, yang pada saat itu hampir saja diambil kucing karena makanan diletakkan di meja ruang tamu. "Hus!" ujarku sambil berusaha menyambar sepasang sepatu dari rak dekat pintu. Kucing itu pergi, lantas aku menutup pintu.

Aku memakan sepotong kue bolu pisang yang disiapkan Mama tadi pagi sembari memakai sepatu. Meski sedikit kesulitan, aku bersikeras memakainya hingga kue yang sedang kugigit terjatuh ke lantai. "Ampun ...," gumamku. Kupungut kue tersebut setelah selesai memakai sepatu, kemudian kubuang ke tempat sampah yang berada di dekat sana. Menggendong ransel, mengeluarkan sepeda, lantas beranjak.

Di perjalanan, tak sengaja aku menemui Mama yang tengah berjalan dengan kantong plastik di tangannya. Aku berhenti sejenak untuk mencium tangannya, kemudian berpamitan. Kembali aku mengayuh sepeda, kali ini sedikit lebih kencang.

"Selamat pagi," ucap seorang petugas keamanan yang berada di gerbang sekolah begitu aku sampai di sana. Aku menyahutnya seraya turun dari sepeda untuk aku iring saja menuju parkiran pinggir lapangan. Tak lama dari situ, kudapati Alvis yang baru saja selesai menaruh sepeda di sana.

"Pis," sapaku.

Ia menoleh. "Hey ..., Alfa Edison!"

"Sembarangan!" ujarku. Ia hanya tertawa.

Karena jam masuk masih beberapa menit lagi, kami berjalan santai melewati koridor sekolah. Sambil sesekali Alvis menyapa beberapa siswa-siswi yang berpapasan dengannya. Di dekat pintu kelas, tampak seorang pria berseragam hitam yang sepertinya tengah menunggu kami untuk menghampirinya. Menyadari itu, kami sedikit mempercepat langkah kami.

DAIJOUBU!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang