"ALFA!"
Tiba-tiba saja seseorang memanggilku dari seberang kanan. Aku yang masih mengejar Alvis dengan sepedaku seketika menoleh dan melambaikan tangan ke arahnya. Ia tersenyum lebar sembari antusias menyambar sepeda yang berada di hadapannya untuk segera menyusulku. Aku mengurangi kecepatan kayuhku sampai kami berhenti di depan salah satu kedai pinggir jalan sana.
"Bagaimana kabarnya?" tanyaku padanya, sambil menepuk pundaknya lantas berjabat tangan dengannya.
Ia tersenyum lebar sembari menggoyangkan jabatan tangannya dengan cukup kencang, bercanda. "Baik."
Kami tertawa.
"Oya, aku dengar kamu sekolah sambil berjualan sekarang?" tanyaku, memulai pembicaraan padanya yang sedang asyik memilih makanan di kedai tersebut. Kulihat ia mengambil sebuah camilan sejenis kue kering dari atas meja dan langsung melahapnya. Ia diam sejenak sambil menikmati makanannya.
"Betul. Hahaha, kamu tahu dari mana?" katanya kemudian.
"Umm ..., kata Papa."
Ia berpikir sejenak, kemudian tertawa sambil menepuk pundakku. "Oya, aku lupa."
Oya, namanya Dreni, salah satu teman di bangku SMP-ku sebelumnya. Kami berteman sejak kami masuk kelas tujuh, pada saat masa orientasi dan kebetulan kami berada di kelompok atau regu yang sama. Saat itu, ia masih dikenal sebagai orang yang cukup pendiam. Namun semenjak ibunya meninggal pada saat kami duduk di bangku kelas delapan, ia berubah menjadi sosok yang lebih aktif. Bahkan ia sangat dikenal di sekolah. Yang mana sekolah kami dulu termasuk sekolah dengan siswa yang cukup banyak. Ia pernah bilang, "Dulu kebahagiaanku hanya ada pada ibu. Jadi, aku hanya bisa lebih terbuka kepadanya saja. Tapi sekarang aku sadar, bahwa kebahagiaan ternyata seluas ini." sembari ia menahan tangis. Saat itu aku hanya bisa terdiam sambil menepuk pundaknya, saling menguatkan.
Selain itu, aku selalu mengetahui kabarnya dari Papa. Karena Papa bekerja di sekolahnya sebagai seorang guru, dan kebetulan Papa juga walikelas Dreni. Papa sering menceritakan keseharian dan keterampilan Dreni padaku jika kami―aku dan keluargaku―sedang berkumpul. Aku sangat kagum padanya, karena ia memang orang yang cerdas. Bahkan sering mendapat peringkat satu. Namun, hal yang membuatku sedih adalah ketika aku diharuskan untuk pindah sekolah karena alasan yang aku sendiri tidak tahu. Awalnya aku menolak, namun Ibu sempat bilang, "Di sana kamu akan lebih berkembang." Maka dari itu, aku pun mengikuti keinginan mereka.
Kring! Kring!
Suara itu membuat kami jengah dan menoleh ke arahnya. Aku tersedak, Dreni tertawa.
"Alvis, kamu dari mana?" tanyaku kemudian.
Alvis menjatuhkan sepeda di depan kedai. Di dekatnya ada seekor kucing yang tengah asyik menyeka tubuhnya langsung berlari ketakutan, namun ia mengabaikannya. Kulihat wajahnya yang sedikit cemberut dengan keringat yang mengalir dari dahinya. Tak lama ia mendekat ke meja kedai dan menyambar sepotong kue dan segelas air gelas yang tersedia di sana. Ia tampak kesal dan kelelahan.
"Maaf, aku lupa." ungkapku sambil menyodorkan selembar handuk kecil ke arahnya. Ia menyambarnya, lantas menyeka keringatnya. Ia masih menikmati makanannya dan mengambil lagi beberapa potong. Hingga akhirnya ia jengah begitu sadar dengan Dreni yang duduk di sebelahku.
"Dreni?" ujarnya. Dreni tersenyum sambil sesekali mengarahkan wajahnya ke arahku. "Aku pikir bukan kamu!" ujarnya lagi seraya menghampiri Dreni dan menjabat tangannya.
Dreni tertawa. "Lalu, kamu pikir aku siapa?"
"Aku pikir kamu penjaga kedai."
"Sembarangan!"
Alvis tertawa sembari mengacak rambutku. Perlahan aku menepisnya sambil berusaha membalasnya. Dreni melerai kami dengan menyambar tangan kami sambil tersenyum, menenangkan. "Sudah, sudah ...." ujarnya.
Oya, Alvis juga mengenal Dreni sejak lama. Sebab aku sering menceritakannya kepada Alvis bagaimana keseharianku bersama Dreni sebelum akhirnya aku pindah sekolah. Ia bilang, ia sangat kagum mendengar kisah Dreni yang dikenal cerdas dan tidak pernah putus asa. Dan ia juga bilang, ia sangat terinspirasi begitu mendengarnya. Namun, Alvis juga tidak begitu saja mengenal Dreni. Melainkan setelah kami―aku, Dreni, dan Alvis―mendaki gunung bersama, dan itu merupakan gunung pertama yang mereka daki.
***
To be continue ...
KAMU SEDANG MEMBACA
DAIJOUBU!
Novela Juvenil"Mungkin aku tak pernah mengerti apa artinya hidup jika tidak ada pelajaran di dalamnya." Aku bahkan mulai kembali menulis setelah sekian lama karena tidak pernah ada yang selesai. Kau tahu mengapa? Karena aku tidak mendapat dukungan. Maksudku, aku...