Setelah selesai memasak, Juna dengan ceria memanggil mereka semua untuk makan siang.
"JENDRAL! HAIKAL! MAKAN!" pekik Juna dari dapur, suaranya menggelegar memenuhi rumah.
"IYA!" jawab mereka, menjawab panggilan Juna dengan cepat.
Keempat pemuda itu pun duduk bersama, menikmati makan siang mereka. Setelah itu, Juna yang dengan sigap membersihkan piring-piring kotor yang tertinggal, menunjukkan sisi lain dari sikapnya yang peduli meski tampak ceroboh.
Di sisi lain, Yuna dan Baskara sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit untuk menjenguk Haikal. Ketika mereka tiba di depan kamar Haikal, seorang perawat menghampiri mereka dan memberitahu bahwa Haikal sudah pulang.
Di jalan pulang, Yuna memecah keheningan. "Mas, kira-kira Haikal kemana ya?" tanyanya dengan nada penuh tanda tanya.
Baskara, yang sedang fokus menyetir, menjawab dengan nada datar, "Udah lah, biarin aja. Aku malah senang anak itu pergi. Bisanya cuma nyusahin orang aja."
Yuna menghela nafas, mencoba untuk membuka hati Baskara. "Coba buka hati kamu untuk Haikal, mas. Penyesalan itu nggak datang di awal."
Baskara menanggapi dengan tegas, "Aku udah pernah coba ikhlasin Gita dan maafin anak itu, tapi apa? Dia malah terus mengungkit masa lalu tentang kematian Gita. Aku udah terlanjur benci sama anak itu, Yuna."
Yuna menatap Baskara dengan lembut, "Beri Haikal satu kesempatan lagi, mas. Dia juga masih butuh kamu untuk proses pendewasaannya, sama seperti Nathan."
Baskara menatap ke depan, menekan gas mobil dengan lebih cepat. "Stop, Yuna. Aku lagi nggak mau bahas anak itu," ucapnya, nada suaranya penuh penekanan.
Yuna terdiam, mencoba memahami perasaan suaminya yang masih terjebak dalam rasa sakit masa lalu. Sudah berkali-kali ia berusaha agar Baskara bisa menerima Haikal, tapi usaha itu tampaknya belum membuahkan hasil.
Sementara itu, di sore hari, Haikal merasa rindu pada ibunya. Ia memutuskan untuk pergi ke makam Gita, ditemani oleh Jendral yang kebetulan bertemu dengannya di jalan.
Sesampainya di makam, Haikal duduk bersimpuh di samping batu nisan ibunya, tak lama kemudian Jendral mengikuti dan duduk di sampingnya. Haikal mulai berbicara dengan penuh emosi, suaranya serak oleh isakan.
"Sore, Bunda," ucap Haikal pelan. "Bunda, Haikal kangen. Rumah Bunda di sana nyaman banget, tapi beberapa hari ini Bunda nggak datang lagi di mimpi Haikal. Haikal kangen banget dengar panggilan 'Adek' dari Bunda. Haikal udah nggak tinggal sama Ayah dan Bunda Yuna lagi. Bang Mahen yang ngajak Haikal pindah. Sebenarnya Haikal nggak mau, tapi Haikal butuh istirahat—secara fisik dan mental. Apalagi sekarang Haikal sakit. Semakin banyak orang yang Haikal repotin, Bunda. Haikal capek, Bunda... Haikal ingin sekali meluk Bunda, nangis di pelukan Bunda, dan cerita tentang semuanya."
Air mata Haikal menetes lagi, suaranya bergetar. "Haikal kadang juga kasihan sama Bang Mahen. Dia anak sulung yang sebenarnya rapuh, tapi dia selalu terlihat kuat di depan adiknya. Tapi Bunda tahu nggak, Bang Mahen sering nangis di kamarnya. Haikal ingin meluk Abang, tapi kamar abang selalu terkunci. Kadang Haikal duduk di depan kamar abang, biar abang nggak nangis sendirian. Tangisan abang itu bikin Haikal pengen kembali ke masa lalu... ke saat kita semua pergi ke pantai bareng."
Jendral yang mendengarkan dengan sabar menepuk pelan bahu Haikal. "Kal, pulang yuk. Nanti Bang Mahen cari-cariin," ajaknya lembut.
Haikal mengangguk, menghapus air matanya. "Bunda, Haikal pamit ya. Nanti Haikal bakal datang lagi. Semoga Bunda tenang di sana."
Setelah berdoa, Haikal dan Jendral pulang. Saat mereka tiba di rumah, sudah hampir malam. Jendral mengantar Haikal hingga depan gerbang rumah.
"Gue pamit ya, Kal," ucap Jendral, sambil memberi senyum.
"Iya, makasih," jawab Haikal.
"Bye, Kal," ucap Jendral, melambaikan tangan.
"Iya," balas Haikal.
Haikal pun masuk ke dalam rumah. Ia melihat motor Mahen sudah terparkir di garasi. "Ceklek," suara kunci yang diputar terdengar saat Haikal membuka pintu.
Mahen yang sedang berdiri di dekat pintu menyambut Haikal. "Dari mana?" tanya Mahen, menatap Haikal dengan penuh perhatian.
"Dari makam Bunda," jawab Haikal, menatap mata Mahen dengan lembut.
"Sendiri?" tanya Mahen lagi, memastikan.
"Enggak, sama Jendral," jawab Haikal.
"Yaudah mandi, abis itu kita jalan-jalan. Mau?" tawar Mahen, memberikan senyuman hangat.
Haikal tersenyum cerah. "Iya," jawabnya, mengangguk setuju.
Mahen mengacak rambut Haikal dengan gemas, membuat Haikal tertawa. "Cepetan mandi, ya!" ujar Mahen sambil melangkah ke ruang depan.
Haikal pun naik ke kamar untuk mandi, lalu bersiap-siap. Sekitar 15 menit kemudian, Haikal turun dengan penampilan yang sudah rapi.
"Ayo, bang!" ucap Haikal, penuh semangat.
"Yuk," jawab Mahen.
Mereka berdua keluar dan Mahen membawa Haikal ke sebuah bazar makanan yang ramai. Haikal melepas helm dan merapikan sedikit rambutnya yang berantakan. Mahen juga melakukan hal yang sama.
"Yuk," kata Mahen, menarik tangan Haikal.
"Mau beli takoyaki, bang?" tanya Haikal dengan mata berbinar.
Mahen tersenyum. "Ayo, beli dua porsi," jawabnya sambil berjalan menuju penjual takoyaki.
"Mas, takoyakinya dua porsi," kata Mahen pada penjual, lalu menoleh pada Haikal. "Haikal, abang beli jus jeruk di gerai sana. Jangan kemana-mana, ya? Abang nggak lama kok."
Haikal mengangguk, mengerti. Ia berdiri menunggu di tempat, sementara Mahen berjalan ke gerai jus.
Setelah tak lama, Haikal selesai mengambil pesanan takoyaki-nya dan mendekat pada Mahen. "Bang," panggil Haikal, suaranya lembut.
Mahen menoleh dengan cepat, sempat kaget, "Haikal, abang kira siapa?" ucap Mahen sambil tersenyum hangat.
TBC
![](https://img.wattpad.com/cover/376827042-288-k400392.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Laut Berbisik (Haechan)✔✔
FanficCerita ini mengisahkan Haikal, anak muda yang selalu dipandang sebelah mata oleh keluarganya dan dituntut sempurna. Meskipun menghadapi tekanan, Haikal menemukan kekuatan, kebahagiaan, dan kebebasan. Dengan dukungan orang-orang baik di sekitarnya,. ...