Caine menoleh ke samping, memperhatikan Rion yang kini berada di sebelahnya dengan jendela mobil terbuka. Malam sudah semakin larut, jalanan mulai sepi, hanya terdengar deru mesin mobil yang mereka kendarai.
Angin malam yang dingin menerpa wajahnya saat ia membuka kaca mobil, mendengar Rion berteriak sedikit untuk mengatasi suara bising dari jalanan.
"Aku mengantarmu hingga perbatasan saja, aku tidak memiliki izin untuk masuk ke area rumahmu." teriak Rion, suaranya terdengar lebih ramah daripada sebelumnya.
Caine menatap Rion sejenak, lalu mengangguk dengan lemah. "Terima kasih sudah mengikuti sampai sejauh ini." jawabnya, meskipun dalam hatinya masih bergejolak dengan perasaan campur aduk akibat kejadian tadi.
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya bagi Caine. Pikiran tentang anak laki-laki di trotoar tadi masih menghantuinya, meskipun Rion sudah menjelaskan bahwa itu jebakan. Ia tak bisa menghapus rasa bersalah kecil yang menyelinap di dadanya. Bagaimanapun juga, niatnya hanya ingin menolong.
Saat mobil mereka melaju sejajar, Caine melihat sekilas Rion dari samping. Pria itu tampak tenang dan sangat percaya diri, seseorang yang sudah sangat terbiasa dengan dunia kelam dan penuh tipu muslihat.
Caine merasa dirinya begitu berbeda dari Rion. Meskipun sudah berusaha keras mengikuti jejak sang ayah, kenyataannya dunia yang ia jalani sekarang terasa semakin asing dan berbahaya.
Rion menatap Caine dari sudut matanya, seolah bisa membaca kebingungan di wajah pemuda itu. "Kau tahu," Rion bersuara lagi,
"Dunia kita ini tidak bisa dipahami hanya dengan niat baik. Kau harus lebih cerdik, lebih tanggap. Kalau tidak, dunia ini akan melumatmu habis-habisan."
Caine terdiam, menelan kalimat itu dalam-dalam. Ada kebenaran dalam kata-kata Rion, meskipun dia benci mengakuinya.
Dunia yang mereka tempati ini bukan tempat bagi orang yang lemah, apalagi bagi mereka yang mudah terbawa perasaan. Satu langkah salah, dan nyawamu bisa menjadi taruhannya.
"Kadang aku berharap semuanya menjadi lebih mudah." gumam Caine sambil menatap lurus ke jalanan di depannya. Kata-kata itu lebih ditujukan pada dirinya sendiri, tetapi Rion mendengarnya.
Rion terkekeh kecil, tapi tidak ada kebahagiaan dalam tawa itu. "Mudah? Dunia kita tak pernah mudah, Caine. Setiap keputusan yang kita buat selalu membawa konsekuensi. Bahkan ketika kau hanya berniat baik, ada harga yang harus dibayar."
Mereka terus melaju dalam hening setelah itu, hingga akhirnya mereka mendekati perbatasan area tempat tinggal Caine.
Jalanan mulai berubah, rumah-rumah mewah dengan pagar tinggi mulai terlihat, tanda bahwa mereka hampir sampai. Rion memperlambat laju mobilnya, mengisyaratkan bahwa waktunya untuk berpisah.
"Baiklah, aku berhenti disini." ucap Rion, kini dengan suara normal karena jalanan sudah lebih sepi.
Dia melirik Caine satu kali lagi sebelum menutup kaca mobilnya. "Jaga dirimu, Caine. Dan ingat apa yang kubilang tadi."
Caine mengangguk tanpa berkata apa-apa, mengamati Rion yang perlahan menjauh dengan mobilnya. Setelah mobil Rion menghilang di kejauhan, Caine kembali menatap lurus ke depan, memacu kendaraannya masuk ke dalam area rumahnya.
Meski malam semakin larut, pikirannya masih terjaga, berputar dengan segala hal yang terjadi sepanjang hari itu.
Kini, ia sadar bahwa tidak ada ruang bagi keraguan dalam hidupnya. Semua yang ia pelajari, semua yang ia lalui, hanyalah awal dari perjalanan panjang menuju dunia yang jauh lebih gelap dari yang ia bayangkan.
Mungkin pria dewasa itu lebih tahu banyak daripada yang terlihat di permukaan.
Sedangkan jauh di belakang, Rion terkekeh pelan di dalam mobilnya, merasa ada yang lucu dan gemas saat mengingat sikap Caine.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adored Heir. [RionCaine]
Teen FictionPertemuan yang tidak terduga di sebuah ruang hampa yang menyesakkan, menyatukan dua insan sama ke dalam titik euforia yang sulit dihentikan.