BAGIAN VIII

339 59 4
                                    

Pagi itu, sinar matahari menembus jendela ruang makan, memberikan nuansa hangat di seluruh ruangan.

Caine duduk di meja makan besar, menikmati sarapan sendirian. Pagi yang tenang, seperti yang biasa ia nikmati.

Tidak ada rapat atau pertemuan penting yang dijadwalkan hari ini, hanya waktu untuk dirinya sendiri.

Saat memotong roti di piringnya, telepon di saku celananya bergetar. Melihat layar, ia mendapati nama ayahnya muncul. Caine seketika merasa tegang.

Terakhir kali mereka berbicara, ayahnya sedang berada di luar kota, menyerahkan seluruh urusan bisnis pada Caine untuk sementara waktu.

Caine melirik piring sarapannya yang masih penuh, lalu menghela napas pelan sebelum bangkit dari kursinya. Dengan gerakan tenang, ia meninggalkan meja makan dan berjalan keluar menuju ruang tengah, menjawab panggilan tersebut.

"Halo, ayah." sapanya dengan suara yang terkendali.

Di ujung telepon, suara ayahnya terdengar kuat seperti biasa.

.... "Caine. Bagaimana dengan bisnis selama sebulan terakhir ini?"

Caine menatap jauh ke arah halaman belakang rumah yang terbataskan oleh kaca besar, mencoba menyusun jawabannya dengan hati-hati.

"Semua baik-baik saja, ayah. Bisnis berjalan sesuai rencana, beberapa proyek besar sudah selesai. Tidak ada masalah yang berarti."

Suara ayahnya hilang sejenak, mencerna informasi yang baru saja diberikan.

.... "Bagus. Tapi aku ingin mendengar lebih dari itu. Kau tahu, bisnis ini tidak hanya soal memenuhi rencana, tapi soal bagaimana kau mempertahankan kendali. Apakah ada kendala? apakah kau merasa nyaman dengan posisi ini?"

Caine menghela nafasnya sebelum menjawab. "Aku menyesuaikan diri. Semua berjalan cukup lancar."

.... "Apa kau yakin?"

Suara ayahnya terdengar lebih tajam kali ini.

.... "Ingat, banyak mata yang mengawasi setiap langkah kita. Kau harus berhati-hati. Terutama setelah kau mengambil alih sebagian besar tanggung jawab ini. Orang-orang akan mencari celah jika mereka melihatmu goyah."

Caine tersenyum kecil, walau ia tahu ayahnya tak bisa melihatnya. "Aku tahu, aku akan berhati-hati dan tidak akan mengecewakanmu."

.... "Itu bagus." jawab ayahnya, nada suaranya sedikit melunak.

.... "Aku percaya padamu, Caine. Pastikan kau tetap waspada. Jangan menghancurkan ekspektasiku."

"Ya, ayah. Terimakasih."

Telepon berakhir, dan Caine menurunkan ponselnya perlahan. Dia kembali menatap halaman yang sepi, merasakan campuran antara ketenangan dan tanggung jawab besar yang menekannya.

Ayahnya memang selalu menuntut kesempurnaan, dan itu membuat Caine terus merasa harus membuktikan dirinya.

Dengan satu tarikan napas panjang, dia kembali ke meja makan, berusaha melanjutkan sarapan yang tertunda, meski pikiran tentang bisnis dan beban tanggung jawab kini terasa lebih berat dari sebelumnya.

Sarapan yang tersisa kini terasa agak dingin, tapi pikirannya sudah sibuk dengan percakapan tadi. Suara ayahnya seakan terus terngiang di benaknya. Dia merapikan rambutnya dengan jari, berusaha kembali fokus pada rutinitas harian yang menunggunya.

Tak lama setelah ia duduk, pintu ruang makan terbuka pelan, dan salah satu pelayan masuk membawa secarik kertas.

"Maaf mengganggu."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Adored Heir. [RionCaine]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang