Chapter 8 ; Problematik

362 77 12
                                        

HAPPY READING!

Halilintar duduk di ujung tempat tidurnya, satu tangannya menggenggam ponsel sementara telinganya masih mendengarkan Taufan yang bercerita dengan penuh semangat tentang betapa menyenangkannya berteman dengan Gempa.

"Kamu juga coba deh deketin dia, Gempa asik tau orangnya!" suara Taufan terdengar ceria, seakan dunia di luar sana penuh warna.

"Iyakah?".

Di sebrang sama Taufan mengangguk semangat, menghiraukan Beliung yang kini menganggapnya gila.

"Hm, buat apa aku bohong. Lagian masa temen deket kamu cuma aku doang? Kalau aku nggak ada, kamu mau sama siapa?".

"Emangnya kamu mau kemana? Jangan berpikiran kalau kamu mau pergi kemanapun." seharusnya bukan masalah besar jika Taufan tiba—tiba menghilang dari hidupnya, tetapi nanti siapa lagi yang akan membuatnya kembali bersinar ketika redup? Blaze tak bisa melakukannya, dia memiliki kehidupan lain yang masih perlu diwarnai agar lebih hidup.

"Gak kemana—mana. Tapi kan Hal, masa depan nggak ada yang tau." Taufan masih setia dengan senyuman yang mengembang diwajahnya tanpa mengetahui ekspresi Halilintar saat ini.

"Jangan pergi, atau ketika kamu kembali nanti yang kamu temui bukanlah raga aku lagi, melainkan peristirahatan terakhir untukku di masa depan.".

Taufan terdiam, ia paling benci ketika arah pembicaraan mulai mengarahkan kesana, "alah, kayak mau meninggal aja kamu!" celetuknya lalu terkekeh pelan.

"Emang kamu gak akan meninggal?" sebuah pertanyaan Halilintar lontarkan.

Disana Taufan menggelengkan kepalanya pelan  meskipun tahu jika Halilintar tak akan melihatnya, "nggak, aku ganti kulit.".

"Dipikir ular?!" sungut Halilintar sedikit kesal, meskipun pada akhirnya malah mengundang tawa Taufan.

Tiba—tiba terdengar suara hentakan keras dari luar kamarnya, diiringi dengan teriakan Amato yang menggema di seluruh rumah, "kamu ini bisanya cuma ngabisin uang Ayah aja, tapi liat! Nilai macam apa ini? Memangnya angka busuk seperti ini masih bisa disebut nilai?!" Suara itu terdengar tajam, menusuk gendang telinga Halilintar. Refleks, tubuhnya menegang, dan tanpa berpikir panjang, Halilintar segera mematikan panggilan teleponnya.

Taufan yang ada di ujung sana tidak sempat menyadari apa yang terjadi, namun Halilintar tak peduli. Dengan tangan yang sedikit gemetar, dia langsung memasang earbud ke telinganya.

Halilintar mengeraskan volume musik yang ia dengarkan lewat earbud, ia sudah tidak ingin mendengar suara itu lagi terlanjur muak dengan setiap nada tinggi yang diucapkan oleh sang ayah.

Punggungnya bersandar pada dinding. Matanya tertutup rapat sementara musik dari earbud yang dipakainya mengalun keras, seakan membanjiri seluruh pikirannya.

Musik yang sengaja dia setel dengan volume maksimal itu merupakan satu—satunya cara untuk menenggelamkan suara—suara di luar kamarnya. Tidak peduli lagi meski telinganya akan tuli sampai berdarah sekalipun karena yang Halilintar inginkan saat ini hanya berhenti mendengar suara itu.

Suara teriakan Amato yang kembali memarahi Gentar terdengar samar meski sudah berusaha ditenggelamkan oleh dentuman musik, lagu berjudul Falling Up itu tidak benar—benar membuatnya berhenti mendengar suara ayahnya.

Halilintar memejamkan mata lebih erat, mencoba mengusir bayangan kekerasan yang biasa terjadi di rumah itu. Halilintar sendiri memang hampir tidak pernah menjadi sasaran kemarahan Amato, namun pemandangan saudaranya diperlakukan kasar sudah membekas di benaknya sejak lama. 

RANTAI LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang