Si Tengah

74 8 0
                                    

"Jangan kebanyakan main, mama denger dari Dona, kamu pulang malam?"

Arsya yang sedang makan tiba-tiba berhenti saat dirinya menjadi topik pembahasan.

"Aku nganterin teman pulang, Ma."

Mamanya menghela nafas. Sepertinya menahan kekesalan.

"Mama udah pesan kamu buat jaga Nina selama pergi, tapi kamu malah suruh Dona buat jemput Nina sekolah, trus pulang malam." Ucapan mamanya meninggi membuat Arsya takut.

"Sorenya aku latihan futsal buat tanding besok."

"Apapun alasannya kamu nggak boleh seenaknya begitu!"

Satya memegang lengan mamanya. "Ma, sudah. Arsya udah minta maaf."

Sementara Arsya sudah menunduk takut. Ia paling tidak bisa melihat kemarahan dari mamanya.

"Lain kali jangan melepaskan tanggung jawab. Ingat, kamu itu laki-laki," sahut papanya yang sejak tadi hanya diam.

"Arsya minta maaf, Ma, Pa."

Satya menatap kasihan pada adiknya. Namun, ia tidak bisa membela karena Arsya memang salah.

***

"Lo mikir nggak sih ini jam berapa?"

Arsya malah tertawa melihat wajah kusut Dona. Sepertinya cewek ini beneran tidur saat ia mengetuk pintu kamarnya.

"Masih jam sepuluh malam, Ci, cepet banget tidurnya. Bunda aja masih nonton Tv gue ke sini."

"Mau apa?"

Arsya menyodorkan sebuah totebag padanya.

"Apa nih?"

"Oleh-oleh dari mama."

"Nggak bisa besok aja?"

"Oh yaudah." Arsya menarik kembali totebag itu, tapi ditahan Dona.

"Udah terlanjur, dodol!"

Arsya terkekeh sambil mengacak rambut panjang gadis itu yang semakin kusut.

"Judes banget sih, mana mau cowok sama lo."

"Sibuk banget ngurusin hidup gue. Sana pergi!"

"Gue pulang ya."

"Sya!"

Arsya berhenti melangkah lalu menatap Dona yang memasang wajah khawatir.

"Om sama tante nggak marah sama lo, kan?"

Arsya menggeleng. "Enggak. Makasih udah jemput Nina."

"Sama-sama."

Dona tahu dari dulu Arsya sering sekali dimarahi oleh mama dan papanya. Seakan apapun yang dibuat Arsya semuanya salah dan ia khawatir saat mama Feli menjemput Nina kemarin, rautnya menahan kesal karena tidak menemukan Arsya.

****

Dari kecil Arsya sudah sering ditinggal dan merasakan kesepian. Untung ia punya Dona yang selalu mengajaknya main ke rumah. Meksi keduanya susah akur ketika bersama, tapi mereka seperti tidak bisa dipisahkan.

Hadirnya Nina saat ia menginjak sepuluh tahun setidaknya bisa mengobati kesendiriannya. Dari dulu Arsya memang aktif, ia tidak bisa berlama-lama hanya diam saja. Bahkan sehari saja tidak membuat teman sebangkunya nangis rasanya ada yang kurang. Kebiasaan itu sedikit berkurang seiring bertumbuh, tapi tetap saja sifat usilnya sudah mendarah daging.

"Balikin sepatu gue Arsya!" Seorang siswi mengejar sang pembuat keributan itu di lorong sekolah. Tempat itu ramai karena baru berbunyi bel istirahat. Arsya memanfaatkan kesempatan untuk bersembunyi di balik tubuh-tubuh siswa lainnya.

"Eka, tolong pegangin Arsya biar gak kabur!"

Cewek yang ditunjuk mencoba menangkap cowok itu. Namun, Arsya terlalu gesit, ia berlari lebih dulu.

"Heh, siniin gak!" Siswi itu semakin berang. Mukanya sudah merah menahan amarah. Sementara Arsya malah tertawa sambil terus berlari membawa sebelah sepatu.

Arsya menuruni tangga menuju lapangan. Namun, langkahnya terhenti kala hampir saja menabrak Dona yang menghadangnya.

Arsya senyum-senyum melihat raut jutek Dona yang seperti guru kedisplinan.

Ketika Arsya ingin menghindar, Dona dengan cepat menarik kerah belakang seragamnya.

"Don, tolong sepatu gue!" Cewek yang tadi datang, sambil mengatur nafasnya. Kelelahan karena berlari.

"Mana sepatunya?"

"Hehehe, gue baru mau kasih."

Arsya memberikan sepatu itu pada Dona. Ia bukannya takut hanya saja tidak ingin cewek itu melaporkan pada mama dan papanya.

"Makasih, Don." Cewek itu mengambil sepatunya lalu menepuk bahu Arsya dengan geram.

"Wadaw!"

"Rasain!"

Belum hilang sakit kena pukul di bahunya sekarang telinganya dijewer oleh Dona.

"Buset, telinga gue sakit, Don!"

Dona tidak peduli. Dua siswa itu menjadi  bahan perhatian bagi siswa lainnya. Ada yang tertawa, ada yang menyumpahi Arsya, ada pula yang tidak peduli karena sudah biasa.

"Bisa nggak sehari aja jangan buat ulah, capek banget gue!"

Arsya menggosok telinganya yang merah. Untung Dona melepaskannya.

"Gue becanda aja, mereka aja yang lebay. Padahal tadi gue udah mau balikin sepatunya Siska, eh keduluan lo."

"Bohong."

Bukannya meminta maaf, Arsya malah mencubit pipi Dona.

"Jangan marah-marah, Ci, lo malah tambah imut."

Kalau saja Arsya tahu kalau jantung Dona berpacu sejak tadi. Ia benci, tapi suka.

"Awas aja kalo lo sampai dilaporkan ke Bu Ratna!"

"Nggak bakal, tenang aja." Arsya mengalungkan lengannya ke bahu Dona.

"Arsya bisa kita ngomong sebentar?" Tiba-tiba Dinda datang di tengah keduanya.

"Eh, boleh-boleh. Apa?"

Dinda melirik Dona yang memasang muka datar. Arsya memahami situasinya.

"Kita ngomong di sana aja," tunjuk Arsya pada bangku dekat lapangan.

"Gue pergi dulu, Ci," pamit Arsya pada Dona. Ia tidak tahu bahwa cewek itu terbakar cemburu karena mereka.

****


Petakilan Boy | Myung JaehyunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang