24 Maret 0024
Aku benar-benar membenci tanggal kelahiranku. Tanggal yang membuatku dijuluki Anak Spesial--tidak, lebih tepatnya Anak Monster.
Aku benar-benar naif berpikir kalau sekolah hanya akan memberikan perlakuan khusus untuk murid yang memiliki tubuh lemah ataupun memiliki penyakit. Aku benar-benar lupa kalau Anak Spesial juga termasuk cacat.
Apalagi, aku lahir di tanggal 29 Februari 0008.
Seharusnya dari awal aku minta orangtuaku memalsukan tanggal lahirku.
"Tidak disangka-sangka ternyata dasi itu untuk membedakan Anak Spesial seperti kita berdua, ya."
Louis sudah membicarakan tentang Anak Spesial dari tadi. Sejak aku, Alissa, dan dia baru duduk makan siang bersama di kantin yang ada di general building, berbeda dengan kantin umum yang ada di kawasan gedung asrama--meskipun fasilitasnya sama saja.
Diam-diam aku melirik ke arah dasi perak polos milik Alissa. Aku benar-benar iri dengan anak normal.
"Ternyata kau kuat juga ya, Luna. Kau tau, orang sepertimu itu hanya ada 1 banding 100 ribu Anak Spesial di dunia!" Louis mengucapkannya dengan lantang dan berlebihan. Untungnya suasana kantin juga cukup ramai sehingga suaranya tidak terlalu menarik perhatian kecuali para kakak kelas yang ada di meja sebelah. Mereka nampak langsung berbisik begitu melihatku dan Louis mengenakan dasi khusus.
"Tapi, Luna, apa kau sungguh baik-baik saja?" tanya Alissa. Ekspresinya terlihat benar-benar khawatir terhadap diriku, setelah perkenalan singkat diriku di kelas tadi pagi.
Aku mengedikkan bahu. "Aku hanya sering pusing. Sudah biasa," jawabku dengan nada ketus. Aku benar-benar tidak suka dicemaskan berlebihan. "Mendingan kau mencemaskan Louis, gejala-nya berkaitan dengan jantung."
Louis tertawa. "Sudah kubilang panggil saja aku Lou. Ini cuma aritmia. Aku bahkan sudah terbiasa, sama sepertimu. Setiap kali kambuh, aku selalu menganggapnya aku baru saja berolahraga." Louis menepuk dadanya sampai terdengar bunyi plak, alih-alih buk. "Juga, karena aku sudah besar, aku bisa mengendalikannya sedikit."
"Oh," sahutku singkat. Aku melanjutkan makananku yang belum habis. Jujur, sebenarnya aku iri dengan Louis. Dia bisa mengendalikannya.
"Tapi Luna, aku penasaran." Louis kembali berceloteh. "Kau tadi tidak memberitahukan--"
Aku berdiri dari tempat dudukku, membuat ucapan Louis terpotong. Louis dan Alissa sontak mendongak ke arahku. "Bisakah kau berhenti membahas itu?"
Ekspresi antusiasnya saat berceloteh tadi langsung sirna. "Maaf, aku hanya--"
"Tidak semua Anak Spesial suka dengan status itu, Magnius. Kau mungkin senang, tentu saja. Apalagi dengan apa yang kau miliki itu. Tapi, aku tidak." Aku lalu mengangkat nampanku yang di atasnya masih tersisa makanan, lalu meninggalkan mereka berdua. Nafsu makanku hilang.
Kuantar nampan bekas makananku ke tempat yang tersedia. Sesuai dugaan, petugas di sana langsung menegur dan memperingatkanku akan hukuman yang harus kujalani nanti malam karena tidak menghabiskan makanan.
Istirahat jam makan siang belum berakhir. Masih ada waktu sekitar 15 menit lagi sebelum kembali masuk kelas. Tidak seperti orang-orang yang mungkin lebih memilih untuk jalan-jalan sebentar atau sekedar berbincang dengan teman-teman, aku memilih kembali ke kelas dan menelungkupkan kepalaku ke atas meja, berniat untuk tidur sebelum pelajaran selanjutnya dimulai.
Tidak butuh waktu lama bagiku untuk segera melayang ke alam mimpi. Sebelumnya kepalaku memang terasa pusing sehingga aku bisa terlelap dengan mudah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Echoes
Mistério / Suspense[SANGAT DISARANKAN UNTUK MEMBACA ISOLATED TERLEBIH DAHULU] "Kumohon ingatlah aku." Luna Emeryn, gadis yang berasal dari keluarga yang bukan orang kaya dan juga bukan orang miskin terpaksa masuk ke Accademia del Sole, sebuah sekolah asrama yang terke...