Hening. Namun berisik. Teriakan demi teriakan terdengar dari atas sana. Seruan kepanikkan, derap kaki berlari diatas dek kapal. Namun tak menghentikan nyanyian yang merdu. Seolah telinga telah biasa mendengar hal itu.
Situasi kacau sekarang: ombak menerjang, badai menyerbu, petir menyambar. Kejanggalan terjadi; walau samudra mengamuk, nyanyian indah masih memasuki gendang telinga.
Membuat tak fokus sang nahkoda dan para awak kapal. Tiba lah diujung kisah mereka, kapal yang berlayar itu telah menghantam karang. Suara yang ditimbulkan begitu nyaring, tapi membuat 'seseorang' menyeringai puas.
"Kamu gila, wahai Sang Maut." Tegur salah satu kaumnya.
Tubuh bagian atas layaknya manusia pada umumnya. Namun dibawah sana ditutupi air lautan, sisik-sisik tajam tumbuh diarea pinggangnya. Sirip seruncing ujung tombak berujung diekornya.
"Memangnya kenapa? Bukankah sudah biasa?" Balas Sang Maut.
"Kau berlebihan, wahai. Tidakkah kau sadar samudra menjadi lebih kotor gara-gara dirimu?" Kesalnyanya.
"Ah, sudahlah ... Lebih baik kau langsung berhadapan saja dengan Baginda Maha Raja." Tambahnya, dan ingin kembali kedasar laut.
"Huh? Memangnya ada apa hingga aku dipanggil oleh Maha Raja Agung, wahai Si Sirip Runcing?" Tanya Sang Maut.
Si Sirip Runcing hanya mengangkat bahu dan berenang kembali kedasar laut. Cipratan air laut yang dihasilkan dari gerakan ekornya mengenai Sang Maut.
"Ατυχος." Umpat Sang maut. Sial.
Sang Maut Melompat dari atas batu itu kedasar laut yang gelap. Disana; disamudra yang gelap. Terdapat sebuah kerajaan yang berdiri kokoh dari miliyaran tahun lamanya.
Pencahayaan bersumber dari ekor mereka yang memiliki satu hingga tiga bola lampu seperti ikan Anglerfish.
Bisik-bisik terdengar ribuan siren biasa yang berupa warga bagi kerajaan gelap ini.
"Hei, bukankah itu Sang Maut? Kurasa ia berulah lagi."
"Iri deh, dia bisa bernyanyi bebas padahal sudah dapat banyak teguran dari kastil."
"Aku rasa dia bukan siren."
"Iya, lihat bentuk tubuhnya, sama lemahnya seperti duyung."
"Tapi nyanyiannya begitu dahsyat. Bukankah ia pantas mendapat nama?"
"Ssst! Kau gila?! Hanya Baginda Maha Raja lah yang pantas memiliki nama."
Sang Maut menghiraukan celotehan tak berdasar mereka. Siren yang berjenis kelamin jantan itu memang sering berulah, tahun ini ratusan kapal dari penjuru dunia habis ia tenggelamkan: padahal ia baru saja cukup umur dan mendapat izin untuk naik kedarat.
Berbeda dari yang lain; Sang Maut tidak memiliki sirip tajam diseluruh tubuh, tapi hanya dibeberapa bagian. Misalnya dipunggung dan diekor-nya.
Ekornya bukan berwarna hitam pada umumnya, namun biru tua. Tidak ada bola-bola lampu diekornya. Tapi kapanpun ia mau sirip-nya akan berkilau membuat pencahayaan: walau Sang Maut rasa itu tak perlu. Rambut sepanjang bahu yang selalu berantakan itu berwarna hitam dengan beberapa helai berkilau biru tua.
Meski banyak yang menghinanya, tentu ada yang memuji dirinya. Terutama dikalangan betina. Ia selalu dipuji-puji; ketampanannya, perbedaan yang dianggap spesial, hingga kekuatannya mengendalikan samudra setara dengan pasukan khusus kastil.
Tibalah sang tokoh utama dikastil Sang Baginda Maha Raja. Dikerajaan gelap ini, para siren tak ada yang memiliki nama: hanya julukan. Bahkan walau itu adalah Pasukan Misteri yang dibentuk Maha Raja sendiri. Hanya ia, Sang Penguasa yang memiliki nama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siren Or Human? (By Rainy9312Ra)
Fantasy° Budayakan baca deskrisi terlebih dahulu. ° Baru Pemula ° Typo bertebaran ° Mungkin romance? ° Jangan lupa vote and follow! ° Bukan BL (mengandung kata kasar) ° ° ° Hei, tak adakah yang percaya? Di samudra biru lepas. Dibawah terumbu karang dan pe...