Yang Tidak Terselesaikan

29 4 28
                                    

Aroma pethricor menusuk, mengaliri dan menghunus penciuman Baskara, sore itu. Bola mata baskara tidak lepas dari permandangan di luar jendela kos, langit begitu mendung, angin juga dengan senang hati, bertiup menunjukan eksistensinya dengan bangga, bahkan beberapa suara penanda hujan datang  beberapa kali berulang menghiasi indra pendengaran Baskara. Sore itu, setelah pulang dari siaran, Baskara tidak mampir ke warung pak Solikin seperti hari-hari biasanya. Hari ini, entah kenapa energi Baskara terkuras begitu saja.

Baskara menghela napas, sambil terus memperhatikan permandangan diluar, suasana hujan disore hari memang memberi kesan yang buruk dipikiran Baskara, tapi disisi lain hujan selalu membawa kedamaian bagi jiwa-jiwa manusia yang dinilai sudah mati rasa.

Baskara menganggurkan semua gangguan didepannya, dari notif handphone yang dari tadi berbunyi — Baskara bisa menebak, mungkin itu dari mas Coki yang menanyakan keadaan Baskara, atau sekedar SMS dari operator kartu handphone yang ia pakai, atau pesan dari seseorang yang tidak ingin Baskara pikirkan untuk saat ini, bahkan eksistensi kopi americano yang dengan exicted dia buat, tidak dapat menariknya kembali ke alam sadarnya, Baskara terlalu larut dengan pikiran-pikiran kacau yang belakangan ini Ia rasa cukup menganggu seluruh aktivitasnya.

Semua pikiran-pikiran ini lama kelamaan menjadi bom waktu bagi Baskara, menjadi tekanan dan menjadi rasa pahit bagi hal-hal baik yang sudah datang dihidup Baskara, Baskara menghela napas kesekian kalinya sambil memejamkan mata, menggengam foto keluarga yang sudah sangat usang dan tampak menguning di sudut-sudut kertasnya, keluarga ini dulunya tampak hangat.

Pikiran Baskara kembali menyelam, rasa sesaknya kembali membuncah, ini alasan dasar Baskara tidak suka sendirian, ini alasan besar Baskara benci menjadi melankolis.

Siang itu, Baskara muda. Baskara yang masih berumur 18 tahun dengan segala imajinasi, segala impian, dan jalan yang Ia yakin sudah mampu disusun dengan rapi.

Baskara berjalan dengan langkah cepat memasuki rumah, membawa amplop yang berisikan daftar nilai, dan selembar brosur kampus impian yang ingin sekali Baskara taklukan.

" Ibu, Bapak!" Ucap Baskara dengan sedikit teriak.

Teriakan Baskara cukup nyaring, sampai membuat Bapak yang sibuk membersihkan kandang ayam cukup terkejut dan ibu yang tengah sibuk menjemur pakaian, juga terkejut dan langsung berlari menghampiri Baskara diruang tengah

"Atuh Bas, jangan teriak.. nanti kamu diomelin tetangga, kenapasih kelihatanya senang banget begitu?" Nada bicara Ibu tidak mengomel, nadanya biasa saja. Tapi Baskara sudah paham bahwa Ibu memang mengomel, dari gelagat Ibu, kalau Ibu marah tangan Ibu otomatis dipinggang. Baskara terkekeh pelan, sementara Ibu geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya ini.

"Nilai Baskara bagus bu, kata Ibu Indah, Baskara bisa masuk kampus impian Baskara lewat jalur undangan." Ucap Baskara dengan mata berbinar, Ibu tersenyum lembut kemudian menepuk bahu Baskara beberapa kali, simbol menunjukan rasa bangga. "Bagus anak Ibu, hebat. Ibu bangga banget sama kamu Bas."

"Ada apa Bas? ribut banget?" Bapak memasuki pelataran rumah, setelah selesai bergelut dengan kandang ayam.

"Baskara dapat nilai bagus Pak, dia bisa masuk kampus jalur undangan." Sahut Ibu dengan nada bangga sekali, Baskara sudah mau bersuara, tapi keduluan Ibu

Bapak mengangguk, mensimbolisasikan bahwa dia paham dengan apa yang dimaksud oleh Ibu, tapi tidak ada kalimat pujian, kalimat apresiasi, atau sekedar ucapan selamat.

"Jadi, ambil jurusan hukum kan?" Ucap bapak dengan sedikit penekanan.

Baskara tercekat, dia bingung harus menjawab apa. Padahal sudah berulang kali ia bilang bahwa ranahnya bukan hukum, Baskara ingin masuk jurusan Ilmu Komunikasi.

Malioboro dan Elegi SastajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang