"Aku gak tau dimana cincin itu sekarang. Cincin itu hilang."
Plakkk
Lagi dan lagi, Ibu menamparku. Ibu menamparku hanya karena cincin itu. Hanya karena aku menghilangkan sebuah cincin yang membuat hidupku terasa seperti di neraka ini.
Apakah memang menamparku adalah hal yang menyenangkan?
Ibu beranjak pergi. Tanpa berkata apapun lagi. Anaya terlihat didepan pintu saat Ibu membukanya. Anak itu pasti baru bangun dan langsung naik ke kamar ku melihat Ibu tidak ada disisinya. Ia juga tampak bingung melihat Ibu keluar dengan aku yang menangis didalam kamar.
Aku jatuh terduduk. Kakiku sudah tidak kuat untuk menopang kehidupanku. Seperti saat itu, perihnya wajahku bekas tamparan Ibu tidak melebihi perihnya hatiku.
Anaya masuk dan menutup pintu. Anak itu memelukku yang masih pada posisi memeluk kedua lutut. Dengan tangan kecilnya yang membentang berusaha menenangkan aku, ia seakan merasakan bagaimana pedihnya hatiku.
•><><><•
Sudah dua hari ini aku tidak berbicara dengan Ibu. Sekolah pun tidak berpamit padanya lagi. Bukan aku, Ibu yang seakan menjauhiku. Ibu seperti tidak ingin berbicara padaku, bahkan melihatku pun tidak mau. Semarahkah itu Ibu padaku hanya karena sebuah cincin yang hilang?
Aku akui aku salah. Tapi aku tidak sengaja. Cincin itu hilang begitu saja. Jika aku tahu keberadaannya, tidak mungkin aku tidak mencarinya.
"Kamu kenapa si An ...."
Aku tidak keluar kelas dua hari ini. Tidak pula jajan ketika istirahat tiba. Begitu lah Rafif kemudian datang dan duduk dikursi milik Rima. Menungguku yang tidak berbicara semenjak ia datang. Mungkin Rima menceritakan tentang aku kepadanya, sehingga kini ia berada disisiku dengan kebisuannya.
Kami baru bertemu kembali. Rafif baru muncul kembali dihadapanku setelah kejadian aku mematikan panggilannya. Artinya sudah dua hari kami tidak bertemu. Mungkin butuh waktu juga untuknya karena aku sudah mengecewakannya berkali-kali.
"Aku minta maaf kalo aku ada salah."
Kamu tidak salah, Fif. Tidak. Aku disini yang salah. Aku salah karena aku menyayangi kamu. Aku salah karena aku sudah mengecewakan kamu dan Ibu. Aku yang salah disini, Fif.
Aku tidak bisa menahannya lagi. Air mataku tumpah kembali. Sesak dihatiku semakin bertambah mengingat kamu yang terus aku bohongi seperti ini.
"An ...."
Rafif memelukku. Pelukannya yang hangat membuat air mataku tidak bisa untuk tidak berhenti.
Sekali lagi maafkan aku.
•><><><•
Sepulang sekolah Rafif sudah menunggu dibangku depan yang menempel dengan dinding kelas. Menoleh dan bangkit ketika mendapatiku berdiri disisinya. Entah mengapa kelas Rafif selalu keluar lebih dulu. Lalu tanpa banyak berbicara Rafif mengambil tanganku.
Seperti biasa, banyak pasang mata yang memandang ketika kami melewati lorong. Entah apa yang ada dipikiran mereka, tetapi aku tidak peduli. Aku menatap jalan didepan tanpa melirik sedikit pun. Mataku terasa sedikit berat. Aku yakin pasti saat ini mataku terlihat sembab.
Motor Rafif membelah jalan siang menjelang sore yang tampak cerah. Masih belum berbicara, Rafif hanya melajukan motornya dalam diam. Mungkin banyak pertanyaan didalam kepalanya yang tidak bisa ia suarakan, atau mungkin ia ingin menyuarakan tetapi takut aku tidak menjawab seperti keinginannya. Dalam kebisuan ini, hanya suara hembusan angin yang terdengar melewati kami.
Arah perjalanan ini nampak asing. Rafif tidak melajukan motornya menuju rumahku. Melainkan suatu tempat yang tidak ia sebutkan padaku. Selalu seperti itu. Rafif adalah satu-satunya lelaki penuh kejutan yang pernah aku jumpai.
![](https://img.wattpad.com/cover/378278574-288-k97213.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Payung Teduh
Teen FictionTemuilah orang lain. Jadikan diri kamu rumah, bukan hanya sebuah payung untuk berteduh. Karena sejatinya cinta akan selalu membutuhkan rumah untuk pulang.