25. Kenyataan Sesungguhnya

4 0 0
                                    

Ketukan dipintu menyadarkan kami. Aku segera melepas pelukan Rafif. Begitu pula dengannya. Aku sudah tidak bisa untuk berpura-pura lagi, Fif. Aku menyerah, cukup sampai disini.

"Mari kita hentikan semua. Aku akan jujur sama mereka kalo kita saling sayang."

Aku beranjak dari sana. Namun untuk sekali lagi, Rafif menahanku dengan pegangannya. kenapa, Fif? Jangan bilang kamu tidak ingin semua ini berakhir.

"An." Rafif menggeleng. "Semua udah terlambat."

"Gak ada kata terlambat dalam cinta, Fif. Kamu mau terus kayak gini? Kamu mau kita terus melanjutkan kepura-puraan ini?" Ucapku dengan suara tertahan. Tidak ingin seseorang diluar sana mendengarnya.

"An, semua udah salah dari awal. Kita gak bisa mengacaukan semua cuma karena ego yang kita punya."

Kenapa kamu baru berbicara tentang ego sekarang, Fif? Tahukah kamu kalau aku memang sudah mementingkan egoku sejak awal dimulainya hubungan ini? Sudah sejak saat itu, aku tidak peduli walau harus mengacaukan segalanya.

"Kamu gak bisa, atau kamu gak mau?"

"..."

Kenapa kamu tidak menjawabnya, Fif? Kamu bingung memilih yang mana? Jika kamu memang benar-benar menyayangi aku, kamu tidak akan sesulit itu untuk memilih.

"Baik, Fif. Aku anggap kebisuan kamu adalah jawaban kamu."

Kamu tidak mau kita bersama.

Aku melepaskan pegangan Rafif. Memutar kunci untuk membuka pintu kamarku yang mengeluarkan bunyi ketukan sejak tadi. Sedikit terkejut melihat Sam yang ternyata dalang dibalik ketukan dipermukaan pintu kamarku.

"An? Rafif?"

Sam memerhatikan aku dan Rafif bergantian. Entah mengapa melihat Sam—orang yang ternyata sejak tadi didepan kamarku— membuatku berharap kalau ia mendengar percakapanku dengan Rafif. Sehingga aku tidak lelah menceritakan semua kepadanya nanti. Biar saja ia tahu, biar ia tidak menggangguku lagi dan berhenti mengharapkan aku untuk menyukainya.

"Dea."

Lalu panggilan Ibu dari anak tangga mengalihkan kami semua.

"Ya, bu."

Ibu muncul dari balik tangga. Memerhatikan kita bertiga yang membisu.

"Jadi, pada kumpul disini?"

"Maaf, aku salah masuk. Dipikir tadi kamar mas."

Rafif bergerak keluar dari kamarku. Menyodorkan paper bag kertas berwarna cokelat kehadapan Sam. Entah sejak kapan ia membawanya, aku tidak tahu.

"Buat mas. Memang bukan barang mahal, tapi insya allah berguna."

Rafif menepuk pundak Sam sebelum akhirnya memilih turun. Meninggalkan kami bertiga yang masih saling memandang satu sama lain.

"Sudah. Mas, Dea ibu bawa dulu ya." Seru Ibu kepada Sam. Seperti meminta izin. "Ayo Dea, bantu ibu dibawah. Kamu dari tadi dicariin kemana aja, sih. Kita lagi repot juga dibawah, kamu malah gak ada."

Omelan Ibu mengakhiri situasi tidak menyenangkan ini. Aku mengikutinya, meninggalkan Sam dengan ekspresi tidak terbacanya yang kini memegang hadiah dari Rafif.

•><><><•

Aku tidak pernah bermimpi akan mengalami ini. Melihat orang yang aku sayangi berbincang dengan tunanganku sendiri, rasanya sangat sakit. Rafif, bagaimana bisa kamu setegar itu menghadapinya? Bagaimana bisa kamu tetap tersenyum meskipun hatimu menjerit melalui ini semua? Tolong beritahu aku bagaimana caranya, agar aku bisa melakukannya juga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 12, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Payung TeduhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang