"Maaf ya, Bu. Dea udah buat Ibu kecewa."
Ibu menghamburkan pelukannya kepadaku. Terisak bersama denganku dimalam yang terasa dingin ini.
"Maafin Ibu juga karena udah nampar kamu terus. Maaf kalo Ibu belum bisa menjadi Ibu yang baik dan sempurna buat kamu. Maaf kalo kamu harus melewati ini semua. Ibu sadar semua ini karena Ibu. Kamu hanya korban dari keserakahan Ibu."
Ibu jangan berbicara seperti itu. Ibu tidak salah. Ibu sudah melakukan semua yang Ibu bisa untuk menyelamatkan hidup kita. Aku saja yang terus membesarkan ego dengan menyalahkan takdir yang aku punya.
"Ini semua bukan salah Ibu."
"Pasti sakit ya, nak."
Ibu mengusap wajahku yang sudah terkena tamparannya dua kali. Bukan disana Bu yang perih, tetapi hatiku.
"Aku harus gimana, Bu. Gimana kalo Bu Karin tau?"
"Ibu akan ngomong sama Ibu Kar—"
"Jangan."
Aku menggeleng. Aku tidak bisa mengorbankan Ibu karena kecerobohanku. Jika memang Ibu Karin akhirnya bertanya kemana cincin itu nanti, aku lah yang akan memberitahunya, bahwa aku telah menghilangkannya.
"Biar Dea aja. Dea akan jujur. Dea akan bilang kalo Dea yang udah ngehilangin cincinnya."
Ibu mengangguk. Ia kembali memelukku dengan hangat. "Ibu Karin orang yang baik, dia pasti akan mengerti nanti."
Aku senang kita bisa seperti ini lagi. Bagaimana pun keadaanya, bila Ibu selalu bersama denganku seperti ini. Semua akan terasa ringan, meski tidak sepenuhnya. Jangan pernah mendiamkan aku lagi ya, Bu.
"Kamu kemana aja? Ibu nunggu kamu dari tadi diluar. Ibu kira kamu pergi dan gak mau pulang lagi."
Aku menggeleng. Air mata terjatuh bebas dikedua mataku. Jadi, ketika aku melihat Ibu didepan pintu masuk tadi, Ibu sedang menungguku?
"Ibu adalah rumah. Kemana pun Dea pergi, Ibu gak usah takut, karena Dea akan selalu pulang kerumah."
"Kakak sama Ibu kayak teletabis. Hihihi ...."
Aku dan Ibu serontak menoleh kesumber suara. Melihat ujung pintu yang menampakkan sosok seorang anak.
"Naya juga mau ikut pelukan."
Ibu menyambut Anaya yang berlari kearah kami. Menangkap lalu mengikatnya kedalam pelukan.
Tuhan, beri aku kekuatan untuk menghentikan waktu, aku ingin waktu berhenti saat ini juga. Aku tidak ingin kebahagiaan ini lenyap begitu aku membuka mata esok.
•><><><•
"Dea berangkat."
Aku melambaikan tangan pada Ibu yang mengantarku sampai didepan teras. Begitulah hari-hari berlalu semenjak masalah dengan Ibu selesai. Berangkat sekolah menjadi sangat menyenangkan. Ditambah hari ini adalah hari sabtu.
Keluar komplek dengan sedikit terburu. Tanganku berpegang pada tas sangkil yang berada dibahu. Sepertinya aku sudah telat beberapa menit. Aku menjadi tidak enak dengan Rafif yang sudah sejak tadi memberiku pesan bahwa ia sudah sampai.
Benar. Sudah dua hari ini Rafif menjemputku—tentu tanpa sepengetahuan Ibu. Kami bertemu dititik yang sama seperti ia mengantarku pulang. Perempatan gang.
Hubungan ku dengan Rafif juga menjadi lebih baik. Kami menjadi lebih terbuka satu sama lain. Seperti kemarin, saat Rafif bercekcok dengan teman futsalnya. Perihal apa aku tidak bertanya, yang jelas Rafif sangat kecewa. Padahal turnamen tinggal menghitung hari, dan dengan keadaan canggung seperti ini semua menjadi sulit.
![](https://img.wattpad.com/cover/378278574-288-k97213.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Payung Teduh
Novela JuvenilTemuilah orang lain. Jadikan diri kamu rumah, bukan hanya sebuah payung untuk berteduh. Karena sejatinya cinta akan selalu membutuhkan rumah untuk pulang.