Satu hal yang tidak pernah aku mimpikan, yaitu bertemu dan mengenal kamu. Meskipun pada akhirnya akan sesakit ini, namun aku tidak menyesal, Fif. Aku tidak pernah menyesal karena sudah menyayangi kamu. Lelaki baik hati yang mengajarkan aku banyak hal dalam hidup. Aku sangat berterima kasih, walau aku tidak ingin berada dalam situasi ini.
Rafif, jika memang ini jalan satu-satunya bagi kita. Aku akan berusaha menerima itu. Aku akan berusaha untuk mengikhlaskan kamu serta perasaan ini. Kamu tidak akan terjatuh sendirian, aku akan menyusul kamu. Meskipun kamu melarang, aku akan tetap terjun menuju jurang tempat dimana kamu terjatuh. Ya, Fif. Biar kita sama-sama merasa sengsara. Tidak bisa aku baik-baik saja disini, sedang kamu kesulitan dengan perasaan kamu.
Berangkat sekolah sekarang terasa biasa-biasa saja. Entah aku yang sudah terbisa dengan ini, atau kita yang tidak lagi bertemu membuat aku menjadi lebih menerima kenyataan bahwa kita sudah benar-benar selesai. Tidak tahu, Fif, bagaimana dengan kamu. Apakah kamu merasakan seperti aku juga?
"Andrea ... Ayo dong. Smile. Masih pagi, loh."
Rima selalu menyemangatiku dua minggu ini. Aku memang belum memberitahunya perihal pertunanganku. Aku hanya mengatakan bahwa aku dan kamu sudah selesai, Fif. Bahkan semenjak hubungan kita belum dimulai, seperti kata kamu.
"Cowo disekolah ini banyak. Entar aku kenalin deh sama kaka kelas."
Rima memutar posisinya menghadapku. Ia begitu antusias ingin aku melupakan kamu. Namun sepertinya hal itu sangat mustahil.
"Kamu tau, kan? Si Bima."
Aku hanya menggeleng dengan menyatukan kedua alisku. Aku memang tidak tahu.
"Ish! Makanya, Dea. Jangan terpaku sama Rafif terus. Dunia ini luas, masih banyak cowo yang lebih baik daripada dia. Kamu sih, sekali jatuh cinta, udah kayak dipelet. Nempel terus."
Bukannya marah, aku malah sedikit tertawa mendengarnya. Perkataan Rima memang benar. Rim, aku, bila sudah jatuh cinta, meskipun seluruh dunia melarang, aku akan tetap mencintainya. Karena yang aku tahu cinta tidak pernah salah. Cinta tidak pernah memilih kita ingin mencintai siapa. Cinta itu tulus, dan tidak ada yang bisa melarang cinta. Aku yakin kamu paham hal itu nanti, bila kamu sudah menemukan cinta kamu.
"Udah, ah. Istirahat dulu. Ngomongin cowo mah emang gak ada habisnya."
"Huuu ... Terus aja ngehindar. Aku tau kamu, De."
Menghindar memang tidak menyelesaikan masalah. Namun dengan menghindar kita dapat merenungkan kembali apakah yang telah kita lakukan ini benar, atau justru malah merugikan orang lain.
"Ayo, ganti baju. Kelas Bu Emi bentar lagi mulai."
Saat ini kelas kami memang sedang istirahat sehabis pelajaran olahraga. sebagian sudah ada yang berganti baju, mungkin karena malas terburu-buru. Namun ada juga yang masih berkeliaran di kantin, entah sedang jajan atau sekadar duduk-duduk mencari angin.
"Iya tau." Rima mengambil bajunya yang disimpan dalam loker didalam kelas kami. "Nanti aku kenalin sama Kak Bima itu, ya."
"Rim ...."
Yang aku pelototi malah kabur ketakutan dengan suara tertawanya. Aku minta maaf, ya, Rim. Hatiku masih dimiliki oleh Rafif. Tidak bisa aku melupakannya secepat ini. Tidak bisa aku berhenti menyayanginya secepat aku mencintainya.
•><><><•
Sekolah terasa lama sekali. Aku ingin cepat kembali ke rumah. Aku takut bertemu dengan kamu, Fif. Aku takut bila kita bertemu lagi, perasaan ini akan kembali. Perasaan ingin bersama dengan kamu, dan menghabiskan waktu dengan kamu. Aku sudah cukup berjuang untuk sejauh ini. Aku tidak ingin usahaku menjadi sia-sia.
Disiang menjelang sore ini langit benar-benar terlihat mendung. Awan hitam menutup langit secara menyeluruh. Hanya tinggal menunggu waktu saja untuknya meneteskan air pada permukaan bumi.
Kamu sedang apa, ya, Fif? Bagaimana perjalanan latihan kamu untuk turnamen esok? Apakah kamu makan dengan teratur? Apakah kamu tidur dengan cukup? Bermain futsal memerlukan tubuh yang sehat. Aku ingin kamu tetap sehat hingga turnamen tiba nanti. Jangan banyak merokok. Jangan membuat diri kamu kelelahan karena pengorbanan kamu menjauhi aku. Jika aku mendengar kabar tidak baik tentang kamu, aku tidak bisa untuk tetap menjauh seperti ini. Jadi aku mohon. Jaga diri kamu baik-baik, ya.
"Ayo, Neng. Mau naik kaga?"
Aku tersadar dari lamunanku. Supir angkutan umum sebentar lagi menjalankan mobilnya. Namun entah mengapa kakiku sulit sekali melangkahkan memasukinya. Apakah aku memang tanpa sadar ingin menunggu kamu? Meskipun hanya melihat kamu dari kejauhan saja.
"Ya, bang. Tunggu."
Fif, sejauh apapun kita saat ini, entah mengapa tubuhku secara otomatis masih menunggu kamu. Aku masih menaruh harap banyak dalam ketidakpastian ini, bahwa kita masih dapat mengulang kembali. Meski aku sendiri tahu bahwa kekecewaan sulit untuk diperbaiki.
•><><><•
"Hujan, Kak. Neduh disini dulu aja."
"Ya, pak."
Aku melimpir kearah pos satpam komplek. Rintik hujan mulai menderas ketika aku turun dari angkutan umum.
"Musim ujan sekarang udah gak berwaktu."
Aku sedikit melirik Bapak berpakaian hitam yang sedang duduk didalam pos. Memandang kearah luar yang dihujani rintikkan deras.
"Biasanya mendekati akhir tahun, ini malah dipertengahan tahun."
"Tuhan punya rencana, Pak."
"Iya, Kak. Namanya kita hidup di dunia. Apa yang diberi ya kita terima aja. Akhir-akhir ini lagi ujan terus, entah mungkin besok akan panas terus. Namanya takdir kan gak ada yang tau. Tugas kita mah bersyukur aja."
Ucapan Pak Udin memang benar. Masalah takdir tidak ada yang tahu. Jika aku merasa sangat menderita saat ini, mungkin kebahagiaan menanti diujung jalan sana. Entah bersama atau tidaknya aku dengan Rafif nanti, hanya takdir yang tahu itu.
Rintik hujan mulai memelan, dan dalam beberapa saat berhenti turun. Sekelebat penglihatanku melihat sosok yang sangat aku rindukan. Mungkinkah itu nyata, atau hanya penglihatanku saja yang sudah membohongi? Karena kepalaku selalu dipenuhi olehnya akhir-akhir ini.
"Motor itu tiap hari lewat. Kadang celingukkan kayak lagi nyari orang. Kakak kenal?"
Aku tertegun mendengarnya. Benarkah? Apa memang benar itu Rafif?
"Yang benar, pak?"
"Iya." Sahutnya dengan anggukan singkat.
"Kemarin dia sempet berhenti. Agak lama, terus pergi. Abis itu kak Dea dateng. Temen kakak kah?"
Aku masih terlalu bingung dengan kenyataan ini. Bagaimana aku harus menjawabnya? Rafif bukan hanya sekadar teman, ia lebih dari itu. Tetapi mengingat keadaan hubungan kita, masih pantaskah aku menganggapnya lebih dari sekadar teman?
"Bukan, pak."
Berat sekali rasanya, Fif, mengucap itu. Karena aku sendiri pun tidak tahu, berada difase apa hubungan kita saat ini. Kita tidak pernah memulai, itu artinya kita tidak bisa mengakhiri. Hubungan membingungkan ini sungguh sangat menyakitiku.
"Aku pulang, ya, Pak."
"Ya, kak."
Mengapa, Fif? Jika itu memang benar kamu, mengapa? Apa mau kamu yang sebenarnya? Kamu meminta untuk menghentikan, namun ternyata kamu sendiri yang menghampiri aku seperti ini. Apakah kamu tidak sungguh dengan perkataan kamu saat itu? Apakah masih ada kesempatan untuk kita kembali? Jangan buat aku merasa bingung seperti ini, Fif.

KAMU SEDANG MEMBACA
Payung Teduh
Teen FictionTemuilah orang lain. Jadikan diri kamu rumah, bukan hanya sebuah payung untuk berteduh. Karena sejatinya cinta akan selalu membutuhkan rumah untuk pulang.