01 - Hari Pertama

82 10 1
                                    

Hari pertama bertugas di rumah sakit jiwa di Jakarta terasa berbeda bagi Cakra. Ia menunggu kedatangan sahabatnya, Revan Paul Fernando, seorang dokter jiwa seperti dirinya. Persahabatan mereka terjalin sejak masa SMA. Tak lama, suara yang sudah tak asing memecah kesunyian.

“Cakra!” seru seseorang dari arah pintu masuk.

“Van!” jawab Cakra, melambaikan tangan kepada Revan yang bergegas menghampirinya.

Revan, laki-laki blasteran Bali-Swedia, memeluk Cakra erat. “Sohib gue, lama nggak ketemu!”

Cakra tersenyum, merasakan kehangatan persahabatan mereka. “Apa kabar, bro?”

“Seperti yang lo lihat?” jawab Revan setengah bercanda.

“Tinggal bilang baik aja, ribet lo,” sahut Cakra, tertawa kecil.

“Hahahaha.”

“Udah, yok. Gue perkenalkan lo ke semua yang ada di sini,” Revan mengajak Cakra berjalan.

“Dari tadi kek, panas banget nih,” keluh Cakra, mengibaskan tangannya ke udara.

“Yaelah, sabar. Nih, gue tunjukin dulu. Ini pintu, Cak. Nah, itu meja resepsionis.”

“Nah ini kursi tunggu.”

“Kalo yang ini—”

“Gue gebuk lo, Van! Lo pikir gue nggak tahu benda-benda kayak gini?” Cakra kesal.

“Hehe, bercanda, bos. Santai, ngapain marah-marah mulu?” balas Revan sambil tersenyum nakal.

Mereka melanjutkan langkah, sesekali disapa oleh beberapa perawat di sepanjang koridor.

“Pagi, dokter,” sapa salah seorang perawat.

“Pagi,” jawab mereka serentak.

Akhirnya, mereka tiba di ruang berkumpul para staf rumah sakit.

“Selamat pagi semua!” Revan menyapa dengan antusias.

“Pagi,” jawab para staf bersamaan.

“Saya akan memperkenalkan anggota baru. Ini Cakrawala Rony Nainggolan, dokter baru kita,” lanjut Revan.

“Selamat pagi semua. Saya Cakra. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik,” ujar Cakra dengan percaya diri.

Salah satu perawat, yang tampak penasaran, berbisik pelan, “Wah, ini dokter Cakra yang suka diomongin sama dokter-dokter lain, ya? Yang pindahan dari Surabaya?”

“Benar,” jawab Cakra sambil tersenyum kecil.

“Wah, benar kata mereka. Dr. Cakra memang ganteng,” goda perawat lainnya.

Cakra tersenyum simpul, sementara Revan menatapnya sambil memutar bola matanya malas. “Baru hari pertama, udah bikin cewek-cewek histeris,” bisik Revan.

Cakra hanya menahan senyum mendengar ucapan sahabatnya.

“Dah, yuk. Gue tunjukin ruangan lo,” Revan segera mengajak Cakra melangkah lagi.

“Mari, kita pamit dulu ya,” kata Revan kepada yang lain.

“Iya, dok,” jawab para staf serentak.

Saat dalam perjalanan menuju ruangannya, tiba-tiba terdengar suara histeris dari kejauhan.

“Ngga, jangan! Lepas! Jangan!” seorang perempuan berteriak.

Cakra dan Revan segera menghampiri asal suara itu.

“Lepas! Lepas! Pergi! Tidak mau! Tidak mau! PERGI!” perempuan itu terus berteriak penuh kepanikan.

Revan segera bertanya pada seorang perawat yang tampak kewalahan, “Kenapa lagi, Sus?”

“Dokter, dia belum makan dari kemarin. Saya sudah berusaha, tapi lihatlah, semua makanan dia buang!” jawab perawat dengan panik.

Cakra memperhatikan perempuan itu yang kini menelungkupkan wajahnya di lantai, menangis.

“Ya sudah, ambilkan makanan lagi,” perintah Revan kepada perawat.

“Baik, Dok,” jawab perawat cepat.

Sebelum perawat itu pergi, Cakra mengangkat tangannya, meminta izin untuk mendekat. Ia berjongkok di samping perempuan itu, menyentuh pundaknya dengan lembut.

“Hey,” panggil Cakra pelan.

Seolah tergerak oleh suara itu, perempuan tersebut mendongak perlahan. Pandangan mereka bertemu. Cakra terpaku, menatap matanya yang dalam, penuh luka.

Bug!

Cakra tersentak. Sebuah batu kecil yang dilempar perempuan itu mengenai kepalanya.

“Cakra!” Revan berseru.

Cakra hanya mengangkat tangan, memberi tanda bahwa ia baik-baik saja.

“Luna!” Revan memanggil perempuan itu dengan suara lembut.

“PERGI! PERGI! SAYA BENCI KALIAN! KALIAN MERUSAK MASA DEPAN SAYA! PERGI!” perempuan yang dipanggil Luna itu terus berteriak histeris sambil melempar batu lagi.

Tak lama kemudian, perawat datang membawa obat penenang. Setelah berusaha menenangkannya, mereka membawanya pergi. Namun, sebelum Luna dibawa, Cakra masih sempat menatap dalam matanya sekali lagi. Penuh luka, namun menyimpan misteri.

Saat tiba di ruangannya, suasana kembali hening.

“Siapa dia?” tanya Cakra, memecah keheningan sambil menatap Revan.

“Siapa?” Revan terlihat bingung.

“Yang tadi. Perempuan itu,” jelas Cakra.

“Oh, dia. Namanya Aluna.”

“Aluna?” ulang Cakra, penasaran.

“Aluna Salma Aliyyah,” Revan menjawab sambil meletakkan dokumen di meja.

“Berapa lama dia di sini?” tanya Cakra, tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

“Sudah lima tahun. Dia korban pemerkosaan. Orang tuanya bilang, pelakunya preman yang mencegatnya saat pulang kuliah.”

Cakra terdiam, merasakan simpati mendalam.

“Ia masih muda,” gumamnya pelan.

“Ya, usianya baru 23 tahun sekarang. Dia dibawa ke sini waktu masih 18,” lanjut Revan, suaranya kini lebih pelan.

Cakra merenung sejenak, terpikir oleh masa depan yang direnggut dari gadis itu.

“Cak, sorry. Gue harus pergi sekarang. Ada janji sama pasien,” ucap Revan tiba-tiba, menyadarkan Cakra dari lamunannya.

“Iya,” jawab Cakra singkat, matanya masih tertuju pada taman yang tampak dari jendela.

Setelah Revan pergi, Cakra kembali terdiam, memandangi taman rumah sakit. Bayangan mata Aluna yang penuh luka terus membayangi pikirannya.

.

.

.

.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Menyentuh LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang