02 - Kamar Aluna

49 9 0
                                    

Hari ini, Cakra belum memiliki pasien. Sebagai dokter baru, ia masih dalam masa perkenalan. Kini saatnya makan siang, Cakra keluar dari ruangannya dan berjalan menuju kantin, seperti yang ditunjukkan Revan pagi tadi.

Namun, saat melewati kamar di sebelah ruangannya, Cakra terhenti. Ia mendengar suara kecil, seperti seseorang sedang mengaji dari dalam kamar yang tertutup rapat. Suara itu begitu lirih, sehingga orang-orang yang hanya lewat tidak akan mendengarnya. Tapi Cakra, dengan pendengarannya yang tajam, bisa mendengar dengan jelas.

Ia mendekatkan telinganya ke pintu, mencoba mendengarkan lebih jelas. Suara itu semakin nyata di telinganya. Saat ia hendak membuka pintu, sebuah suara lain tiba-tiba memanggil namanya.

"Dokter Cakra," suara seorang wanita memanggil.

Cakra langsung berbalik. "Iya?"

Seorang dokter wanita berdiri di hadapannya. "Ah, dokter... Saya Risma," jawab wanita itu. Dari penampilannya, Cakra bisa menebak bahwa Risma mungkin seumuran dengan ibunya.

Cakra mengangguk sopan. "Iya, dokter Risma?"

"Sedang apa dokter di depan kamar Aluna?" tanya Risma dengan lembut.

"Kamar Aluna?" Cakra mengernyitkan kening.

"Iya," jawab dokter Risma. "Ini kamar Aluna. Aluna memang suka jika kamarnya selalu tertutup."

"Oh, tidak dokter," jawab Cakra cepat. "Tadi saya hanya ingin mengecek saja, karena saya merasa ada orang di dalam, tetapi kamar tertutup."

Dokter Risma tersenyum kecil. "Ya, Aluna memang sering berada di kamar dengan pintu tertutup. Dia lebih nyaman begitu."

Cakra menatap pintu itu sekali lagi. "Dokter Risma, dokter yang bertanggung jawab atas Aluna?"

"Iya, benar dokter. Saya sudah menangani Aluna cukup lama."

"Oh, begitu," jawab Cakra, rasa penasarannya semakin besar.

"Kalau begitu, dokter, saya permisi ingin mengecek Aluna sebentar," kata dokter Risma.

"Oh, ya silakan dokter," sahut Cakra sambil memberi jalan.

Dokter Risma membuka pintu kamar Aluna. Cakra tidak beranjak, tetap di tempatnya, matanya terpaku ke dalam ruangan itu. Dokter Risma mungkin berpikir Cakra ingin mengenal lebih jauh pasien-pasien di rumah sakit ini.

Saat pintu terbuka, Cakra melihat Aluna duduk di sudut ruangan dekat jendela. Tangannya memainkan kain yang terikat di ranjangnya. Ada sesuatu yang berbeda tentang Aluna. Di tengah kondisi mental yang tidak stabil, hijabnya tetap terjaga. Tidak seperti banyak pasien di sini yang sering menarik rambut mereka saat histeris, Aluna tidak pernah menyentuh hijabnya.

Semakin lama Cakra memperhatikan, semakin besar rasa penasarannya terhadap pasien ini.

"Sayang, Aluna," panggil dokter Risma lembut.

Aluna menoleh dan langsung berlari memeluk dokter Risma. Dokter Risma mengelus kepala Aluna dengan lembut, seperti seorang ibu yang menenangkan anaknya.

"Ibu..." panggil Aluna pelan.

"Putri ibu," jawab dokter Risma dengan senyum lembut.

"Ibu..." panggilnya lagi, lebih lembut.

"Aluna, bagaimana kabarnya?" tanya dokter Risma.

Aluna mengangguk, tidak berkata apa-apa.

Dokter Risma tersenyum lagi. "Ibu dengar, Aluna tidak mau makan sejak kemarin, ya?"

Aluna kembali mengangguk, matanya menunduk.

"Aluna menunggu ibu?" tanya Risma lagi.

Aluna mengangguk sekali lagi.

Menyentuh LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang