04 - Sahabat

53 9 0
                                    

Di tengah hiruk-pikuk rumah sakit, seorang gadis cantik berlari tergesa-gesa, mengabaikan sekelilingnya.

"Misi, misi!" ucapnya sambil terus melangkah cepat, seolah dunia di sekitarnya tak ada yang lebih penting.

Dengan fokus yang begitu dalam, ia tak menyadari ada seseorang di depannya.

Bruk!

"Aduh!" teriaknya, mengusap keningnya yang terasa sakit akibat tabrakan. Semua barangnya jatuh berserakan.

"Sorry, sorry! Gue buru-buru!" serunya sambil cepat-cepat membereskan barang-barangnya.

"Ekhem!" dehem suara seseorang di dekatnya.

"Sorry ya!" Gadis itu tetap fokus mengumpulkan barang-barangnya.

"Sayang..." ucap orang itu dengan nada menggoda.

Gadis itu berhenti, langsung mengangkat kepalanya, terkejut.

"Sayangg!" teriaknya dengan semangat.

"Ishhh, kenapa nggak bilang dari tadi? Mana kamu berdiri di tengah jalan, sampai aku nabrak. Barang-barang aku jatuh, nggak dibantuin! Ngeselin banget!" omelnya, matanya berkilau marah.

"Hey, hey, tenang-tenang. Ngomel mulu kayak petasan," balas Revan, tersenyum sambil mengulurkan tangannya untuk membantu.

"Revan!" teriaknya kesal.

"Hehehe, piss," jawab Revan, merasa bersalah namun masih mencoba untuk mencairkan suasana.

Ya, dia Revan, dan gadis cantik ini adalah Ara, pacarnya.

"Lagian, buru-buru banget. Aku tahu kamu kangen berat sama aku. Tapi hati-hati juga dong," lanjut Revan, mengulurkan tangan untuk memeluknya.

"Apasih, PD banget!" Ara menjawab dengan nada canda, meski sedikit tersipu. "Aku buru-buru karena udah kangen berat sama sahabat aku, ya, bukan kamu," tambahnya, melawan.

"Sahabatnya doang nih? Yakin nggak kangen dokternya?" tanya Revan dengan tatapan nakal.

"Yakin 1000%," Ara menjawab tegas.

"Oh ya?" Revan membalas dengan senyum menggoda.

"Iyalah!" Ara ngegas, namun senyumnya tak bisa disembunyikan.

"Uluh-uluh, gemesnya," Revan merangkul Ara, dan mereka berjalan bersama, suasana kembali hangat.

"Sayang," Ara memanggil lembut.

"Iya?" jawab Revan, memperhatikan.

"Bagaimana kabar Luna?" Ara menanyakan dengan nada serius.

"Baik, cuma kemarin dia sempat nggak mau makan, karena dokter Risma pergi tanpa pamit ke dia," jelas Revan.

"Sekarang?" tanya Ara cemas.

"Semua udah aman, sayang," jawab Revan dengan tenang.

Hening sejenak, keduanya terlarut dalam pikiran masing-masing.

"Sayang," Ara memanggil lagi.

"Iya?" Revan menjawab, merasa ada yang mengganjal.

"Kalau perkembangan Luna?" Ara bertanya, nada suaranya bergetar.

Revan diam sejenak, hanya tersenyum. Melihat senyuman Revan, Ara mengerti bahwa ada sesuatu yang lebih dalam. Dia menghela napas sedih.

"Aku kangen Luna. Aku kangen jalan-jalan bareng dia, kangen makan di kantin bareng dia. Dulu kita punya cita-cita mau lulus bareng dan berlibur ke Swiss berdua, tapi dia nggak nepatin janjinya, Revan. Dia nggak mau lulus bareng aku, dia nggak mau jalan-jalan bareng aku..." Ara tak kuasa menahan air matanya.

Menyentuh LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang