03 - Tanggung Jawab

372 30 5
                                    

Hari kedua Cakra bekerja di rumah sakit terasa jauh lebih sibuk daripada sebelumnya. Ia baru saja menerima daftar pasien dari tim manajemen medis. Duduk di ruangannya, ia membuka daftar itu dengan penuh perhatian. Ada sekitar lima belas pasien yang harus ia tangani. Saat matanya melewati satu per satu nama di daftar itu, tak ada yang mencolok, sampai ia sampai pada nama terakhir: Aluna Salma Aliyyah.

"Aluna..." gumamnya pelan, merasa heran.

Pikirannya langsung berputar. Bukankah Aluna ditangani oleh dokter Risma? Kenapa dia ada di daftar pasienku? tanyanya dalam hati, kebingungan.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.

Tok, tok, tok.

"Iya, silakan," jawab Cakra.

Pintu terbuka, dan dokter Risma melangkah masuk dengan senyum ramah.

"Permisi, dokter," sapanya sopan.

"Kebetulan sekali, dokter Risma. Silakan duduk, ada yang ingin saya tanyakan," kata Cakra, mempersilakannya untuk duduk.

"Perihal Aluna, bukan?" tanya dokter Risma, seolah sudah mengetahui arah pembicaraan ini.

"Iya, dokter. Kenapa Aluna ada di daftar pasien saya? Bukankah dia ditangani oleh dokter sebelumnya?"

Dokter Risma mengangguk kecil. "Benar, dokter. Aluna akan dipindah tangani kepada Anda."

Cakra tampak terkejut, lalu bertanya, "Kenapa, dokter?"

"Saya akan mengundurkan diri dari rumah sakit ini," jawab dokter Risma dengan nada tenang.

"Mengundurkan diri?" ulang Cakra, seolah tidak percaya.

"Iya, saya akan pindah ke luar kota, mengikuti anak saya," jelas Risma.

Cakra mengangguk, memahami alasan dokter senior itu.

"Ini adalah rekam medis dari Aluna," lanjut dokter Risma, menyerahkan map tebal berisi dokumen. "Saya titipkan Aluna kepada dokter."

Cakra berhenti membaca laporan sejenak dan menatap dokter Risma dengan serius.

"Dia berbeda, dokter," lanjut Risma pelan. "Anda harus bisa membuatnya merasa nyaman dan aman. Hanya dengan begitu, Anda bisa mendekatkan diri dengannya. Aluna jarang sekali histeris, kemarin dia hanya histeris karena saya meninggalkannya tanpa pamit."

Cakra mendengarkan dengan penuh perhatian, menyadari bahwa Aluna mungkin lebih kompleks daripada pasien lain yang pernah ia tangani.

"Dan satu lagi, dokter," sambung Risma, suaranya menggantung sejenak.

Cakra menunggu dengan sabar.

"Aluna... dia tidak sepenuhnya sakit," ucap Risma dengan nada misterius.

Tiba-tiba, ponselnya berdering.

"Maaf, dokter, sepertinya saya harus pergi. Nanti kita bisa lanjutkan pembicaraan ini."

Cakra mengangguk. "Baik, dokter. Silakan."

Tanpa menjelaskan lebih lanjut, dokter Risma pamit undur diri. Cakra, yang masih ingin bertanya lebih banyak, hanya bisa membiarkan kepergian dokter itu. Sepertinya ada sesuatu yang lebih dalam tentang Aluna yang belum terungkap, dan kini tugasnya adalah mengetahuinya.

Setelah dokter Risma pergi, Cakra kembali memandangi map tebal yang kini ada di mejanya. Rekam medis Aluna Salma Aliyyah. Nama itu terus terngiang di kepalanya, membawa perasaan yang aneh. Ada yang janggal.

Dia tidak sepenuhnya sakit... Kata-kata dokter Risma tadi kembali berputar di pikirannya. Apa maksudnya?

Cakra membuka rekam medis Aluna, lembar demi lembar. Catatan tentang kondisi mental dan fisiknya, diagnosa, serta catatan harian dokter Risma sebelumnya. Semuanya tersusun rapi, namun semakin ia membacanya, semakin jelas bahwa Aluna memang berbeda. Bukan dalam hal yang biasa ia temukan pada pasien-pasien lainnya.

Menyentuh LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang