Sunyi & Riuh

15 1 0
                                    

Arsa memegang batu itu erat-erat, jemarinya bergetar, tapi wajahnya tetap datar. Di depannya, seorang lelaki tergeletak di tepi jalan dengan darah mengalir pelan dari pelipisnya. Nafasnya pendek, hampir tak terdengar, dan tubuh ringkihnya seperti kain lap basah yang dibuang begitu saja. Arsa menatap tanpa berkedip, seolah menunggu sesuatu.

Orang-orang akan segera datang. Mereka akan bertanya siapa yang melakukan ini, kenapa lelaki tua itu terbaring sekarat di pinggir jalan. Namun, Arsa hanya berbalik dan melangkah pelan, meninggalkan keramaian yang mulai mengintip dari kejauhan. Di hatinya, tidak ada rasa puas, tidak ada amarah yang meledak. Hanya kekosongan aneh yang mengendap di sela-sela pikirannya.

Setelah pulang ke rumah, ia melihat ibunya duduk di beranda dengan pandangan kosong. Mata perempuan itu memandang ke arah kebun belakang, ke semak-semak jambu yang tumbuh liar. Tanpa berkata apa-apa, Arsa melewati ibunya dan mengunci diri di dalam kamar.

Tak ada yang tahu apa yang telah terjadi. Di luar, desa mulai ramai dengan suara-suara yang bergelombang seperti badai datang tiba-tiba. Berita tersebar cepat—seorang lelaki tua ditemukan babak belur dan sekarat, tidak jauh dari rumah Arsa. Warga bertanya-tanya siapa yang tega melakukannya. Tidak ada jawaban yang pasti.

Malam itu, Arsa berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang redup. Kepalanya dipenuhi pertanyaan: Kenapa aku melakukannya? Kenapa aku tidak merasa apa-apa? Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu jawabannya sudah ada di sana sejak lama. Hanya saja, jawabannya berakar terlalu dalam, tersembunyi di balik tahun-tahun kesunyian yang ia lewati.

Baru esok paginya, kebenaran itu muncul seperti bunga liar yang tak bisa dibendung. Ia ingat semuanya—teriakan bapaknya, piring-piring yang pecah, isak ibunya yang tertahan setiap kali malam menjadi terlalu panjang. Ia ingat bagaimana lelaki itu pergi, meninggalkan rumah dalam sunyi, dan bagaimana ia berharap lelaki itu tak pernah kembali.

Namun, pagi ini, harapannya hancur. Bapaknya kembali, meski hanya sebagai sosok lemah yang terseret oleh waktu. Dan ketika Arsa melihat lelaki itu lagi di sudut jalan desa, sesuatu di dalam dirinya runtuh. Ia melemparkan batu itu bukan karena amarah, tapi karena tak sanggup menerima kenyataan—bahwa meski bapaknya kembali dalam keadaan sekarat, rasa benci di hatinya tak pernah benar-benar hilang.

Di akhir semua itu, Arsa menyadari satu hal: dendam tidak selalu datang dalam riuh kemarahan. Kadang, ia tumbuh diam-diam di dalam sunyi, berakar kuat tanpa pernah terlihat. Dan ketika saatnya tiba, dendam itu mekar tanpa ampun, tak peduli siapa yang harus tersakiti di sepanjang jalan.

BiasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang