Alia duduk di sudut kafe yang penuh kenangan. Ia sudah lama tak kembali ke tempat ini—tidak sejak hubungannya dengan Raka berakhir tanpa penjelasan. Ada keraguan saat ia masuk, seperti ada sesuatu yang menahannya untuk melangkah lebih jauh. Namun, malam ini ia merasa perlu berada di sini, meski ia tak sepenuhnya mengerti mengapa.
Di seberang ruangan, Raka masuk tanpa menyadari Alia ada di sana. Ia memilih meja di dekat jendela, menarik kursi, dan duduk dengan pandangan yang jauh. Malam ini, kafe itu penuh, suara orang-orang bercampur dengan musik yang lembut, tetapi bagi Raka, ruangan itu terasa kosong. Seperti ada kehampaan yang hanya bisa diisi oleh satu orang.
Alia menatap cangkir kopinya yang sudah dingin, matanya melayang ke masa lalu yang dulu ia dan Raka bagi bersama. Mereka sering datang ke sini, duduk berjam-jam sambil bercakap-cakap tentang mimpi dan rencana yang kini terasa jauh. Hatinya penuh pertanyaan yang belum terjawab, tetapi ada yang lebih besar dari itu—perasaan rindu yang melilit seperti angin dingin.
Raka melirik ke arah sekeliling, matanya seperti mencari sesuatu yang hilang. Ia tidak tahu apa yang membuatnya kembali ke tempat ini malam ini, hanya sebuah dorongan tiba-tiba yang tak bisa ia jelaskan. Di atas meja, sebuah cincin kecil tergeletak. Cincin itu adalah milik Alia, hadiah yang pernah ia berikan di malam yang penuh tawa dan janji-janji tak terucap. Ia menggenggam cincin itu, mencoba menemukan kedamaian dalam benda kecil itu.
Tanpa sadar, Alia menoleh dan melihat sosok yang begitu dikenalnya—Raka. Tubuhnya menegang, ada keinginan untuk menghampiri dan menegur, tetapi entah mengapa ia tetap diam. Jantungnya berdetak tak beraturan. Ada sesuatu yang aneh dalam perasaannya, seperti ada jarak yang tak kasatmata meskipun Raka hanya beberapa langkah darinya. Alia menarik napas dalam, merasa seolah tertahan oleh sesuatu yang ia tak pahami.
Di meja seberang, Raka menghela napas panjang. “Seandainya aku bisa bicara denganmu, Alia… seandainya ada kesempatan untuk memperbaiki segalanya…” gumamnya pelan, tak terdengar oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri.
Alia mendengar gumaman itu seperti suara yang samar, nyaris tak nyata, tetapi cukup untuk menyentuh hatinya. Ada pertanyaan yang muncul di benaknya: Mengapa ia merasa begitu jauh, begitu terasing meskipun berada di tempat yang sama? Kenangan-kenangan tiba-tiba memenuhi pikirannya, tetapi ada sesuatu yang kabur, sesuatu yang ia coba ingat tapi selalu hilang saat hampir tertangkap.
Raka menggerakkan jari-jarinya pada cincin itu, matanya terlihat berat, seperti menahan beban yang telah lama ia pendam. “Aku harus menerima kenyataan… bahwa kau tidak di sini,” bisiknya, suaranya penuh sesal dan kesepian yang dalam. Tatapan Raka beralih ke luar jendela, ke langit malam yang pekat, mencari kedamaian dalam kegelapan.
Alia merasa detak jantungnya melambat. Pikirannya kembali ke malam itu—lampu yang silau, suara rem yang berdecit, dan lalu kegelapan. Ia menatap sekeliling, menyadari bahwa ada yang tidak beres. Ia melihat orang-orang lalu-lalang, namun tak satu pun dari mereka memandang ke arahnya, seolah ia tak terlihat.
“Apa yang sebenarnya terjadi…?” bisik Alia, perasaan panik mulai merayapi dirinya. Ia melihat ke arah Raka, ingin menanyakan apa yang terjadi, tetapi tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Ia hanya berdiri di sana, tenggelam dalam keheningan yang tak terjelaskan.
Raka memandang sekeliling sekali lagi, tatapannya kosong. Ia tahu ini adalah akhir dari semua penantiannya, bahwa tak ada lagi yang tersisa. Dengan suara pelan, ia berkata, “Aku harap kau damai di sana, Alia. Maafkan aku, jika aku pernah menyakiti hatimu.”
Pada saat itu, Alia merasa tubuhnya mulai terasa ringan, beban yang ia rasakan tiba-tiba menghilang. Kata-kata Raka seakan membebaskannya dari belenggu yang tak terlihat, menyisakan perasaan tenang yang mengisi seluruh jiwanya. Ia mengulurkan tangan ke arah Raka, tetapi tahu bahwa ini adalah akhir dari penantiannya. Raka akan baik-baik saja tanpanya.
Dan kafe itu kembali sunyi, menyisakan kenangan yang akan hidup selamanya dalam hati mereka berdua.