Jalan kecil itu lengang saat ia melangkah, membawa paket sederhana yang tak terlalu besar, tapi agak berat. Nama penerimanya tidak asing. Sudah beberapa kali ia mendatangi rumah ini, meski tak pernah sekali pun bertemu langsung dengan pemiliknya. Setiap kali ia datang, pria itu lebih memilih untuk menerima paket dari balik pintu, membiarkan hanya tangan terulur yang tampak sekilas. Hari ini pun, kurir itu menatap rumah yang tampak senyap, terbungkus dalam bayang sore yang mulai meremang.
Sesaat, ia mengetuk pintu, menyebut nama pria itu, lalu menunggu. Sejenak hanya ada bunyi angin yang bergerak di antara daun-daun kering. Matahari mulai tenggelam, dan sinarnya yang redup menambah suram suasana rumah. Ia mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras. Menunggu. Namun, tetap sunyi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di balik pintu kayu yang dingin itu.
Setelah beberapa saat berlalu tanpa jawaban, kurir itu menarik napas dalam-dalam, memutuskan untuk menaruh paket itu di depan pintu. Ia mengeluarkan ponsel, mengambil foto sebagai bukti penyerahan. Namun sebelum beranjak pergi, ia sempat melirik ke arah jendela yang sedikit terbuka. Di dalam, ruang tamu terlihat kosong, hanya ada meja kecil dengan beberapa barang tertumpuk acak. Ia merasakan desir tak nyaman, perasaan samar bahwa ada sesuatu yang tak biasa hari ini.
Mata kurir itu kembali ke pintu, entah mengapa ia merasa enggan beranjak. Rumah ini, biasanya sunyi, tapi tidak sesenyap ini. Seolah semua kehidupan di dalamnya telah menguap. Keringat dingin mulai merayap di tengkuknya. Beberapa tetangga lewat di kejauhan, tapi tidak ada satu pun yang mendekat. Setelah berdiri dalam keraguan, ia memutuskan untuk melangkah pergi, meninggalkan rumah itu bersama rasa penasaran yang membebaninya.
Keesokan paginya, seorang tetangga, Bu Lani, merasakan ada yang janggal. Biasanya, pria itu terlihat pagi-pagi di depan rumahnya, setidaknya untuk menyapu dedaunan kering yang berguguran di teras. Namun pagi ini, semua tetap tertutup rapat, tanpa tanda-tanda pergerakan di dalamnya. Teras rumahnya tampak sama seperti kemarin, tertutup daun-daun kering yang tak terjamah. Di depan pintu, ada sebuah paket yang belum dibuka.
Rasa penasaran mendorong Bu Lani untuk mendekat. Ia memanggil nama pria itu sambil mengetuk pintu perlahan. Namun, tetap tak ada jawaban. Ia mencoba lagi, kali ini sedikit lebih keras. Sunyi. Pintu itu tak terkunci, dan saat ia perlahan memutarnya, pintu itu terbuka dengan lembut, mengeluarkan desis kecil.
Perlahan, Bu Lani melangkah masuk, dadanya berdebar. Di ruang tamu, tak ada siapa pun. Namun saat ia mendekat ke pintu kamar yang sedikit terbuka, pandangannya tertuju pada sosok pria itu yang terbaring di lantai. Wajahnya tenang, nyaris seperti tengah tidur. Tapi, satu tatapan saja cukup bagi Bu Lani untuk menyadari kebenarannya. Tubuh pria itu dingin dan pucat, seperti sudah lama terlelap dalam keheningan yang tidak akan berakhir.
Bersama keheningan itu, Bu Lani merasakan kehampaan yang memenuhi kamar pria itu. Tak ada tanda kekerasan, tak ada jejak pergulatan. Namun, entah kenapa ia merasa ruangan ini penuh oleh sesuatu yang tak terlihat. Di sana ada kesedihan yang begitu pekat, seolah waktu berhenti dan membeku di ruangan itu.
Mata Bu Lani perlahan-lahan beralih ke meja kecil di sisi tempat tidur. Ada beberapa lembar kertas yang berserakan, dengan coretan-coretan yang samar. Kata-kata yang terputus-putus—seolah-olah sebuah doa, atau mungkin sebuah renungan yang tertinggal tanpa pernah selesai. Pandangan Bu Lani kembali ke ambang pintu, tempat paket itu masih tergeletak. Hatinya seperti ditarik untuk mendekat, dan setelah ragu sejenak, ia membungkuk membuka bungkusan itu perlahan.
Sajadah dan Al-Qur’an yang masih terbungkus rapi. Dua benda yang seakan menyimpan harapan akan kedamaian yang baru saja ingin diraih. Namun, keduanya datang terlambat, dan Bu Lani tak bisa menahan perasaan getir yang menjalari hatinya. Ia merasakan ironi yang menyakitkan, sebuah harapan yang terkubur bersama sosok pria itu.
Mungkin pria itu berusaha menemukan sesuatu, mungkin ia mencari ketenangan yang tak pernah datang kepadanya. Tapi kenyataannya, ia pergi lebih cepat, sebelum sempat membuka pintu menuju damai yang ia pesan.