Pukul 14.45, di ruang gawat daruratRuang gawat darurat dipenuhi suara mesin yang monoton, alat-alat medis berbunyi tanpa henti. Beberapa perawat dan dokter hilir mudik, tetapi fokus seorang wanita hanya tertuju pada ranjang tempat suaminya terbaring lemah. Tubuh suaminya tampak pucat, lebih pucat dari biasanya. Wanita itu duduk di sudut ruangan, tenang, meski matanya kosong. Tangannya menggenggam erat sebuah foto lusuh—benda yang tak pernah lepas darinya sejak pagi tadi.
"Keadaannya sangat kritis," ujar dokter sambil menatap wanita itu dengan simpati. "Kami sudah berusaha, tapi tubuhnya sepertinya tidak merespon perawatan."
Wanita itu hanya mengangguk pelan. Tidak ada reaksi lain. Dia tidak bertanya, tidak menangis. Pandangannya tetap lurus, menatap tubuh suaminya yang terbungkus selimut rumah sakit. Sekilas, ia tampak seperti istri yang berduka. Namun, ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tidak terlihat oleh siapa pun di ruangan itu. Sesuatu yang tersembunyi di balik sikap tenangnya.
Foto lusuh yang terus digenggamnya, menyimpan rahasia yang lebih besar dari sekadar kenangan masa lalu.
Pukul 07.00, dua minggu sebelumnya
Di meja makan, suaminya duduk sambil memijat pelipisnya. Wajahnya lelah, seperti orang yang tidak tidur semalaman. Piring sarapan terhidang di depannya, tapi ia tidak menyentuhnya. Wanita itu mengawasinya dari seberang meja, senyumnya tipis, nyaris tak terlihat.
“Kamu terlihat tidak sehat,” ucapnya lembut, sambil menuangkan jus jeruk ke dalam gelas suaminya. “Mungkin kamu perlu istirahat beberapa hari.”
Suaminya tertawa kecil, meski lemah. “Aku baik-baik saja, mungkin cuma kecapekan.”
Namun, belakangan ini suaminya sering mengeluh soal sakit kepala, mual, dan tubuh yang terasa lemas. Sudah beberapa kali wanita itu menyarankan agar suaminya pergi ke dokter, tapi suaminya selalu menolak. “Aku akan baik-baik saja,” katanya, selalu sama.
Wanita itu hanya mengangguk pelan, lalu duduk kembali, menatap suaminya minum jus jeruk yang ia suguhkan. Perlahan, tanpa disadari suaminya, segalanya mulai berubah.
Pukul 23.00, tiga bulan sebelumnya
Wanita itu duduk di sofa ruang tamu. Lampu meja menyala redup, membiarkan sebagian besar ruangan terbenam dalam bayangan. Di tangannya, ia memegang sebuah foto. Foto suaminya, duduk di kafe, dengan seorang wanita lain. Keduanya tampak terlalu dekat, terlalu nyaman satu sama lain.
Hatinya seperti dilanda badai, meskipun wajahnya tetap tenang. Suaminya sering pulang terlambat belakangan ini, selalu dengan alasan yang sama—pekerjaan menumpuk, atau pertemuan dengan klien. Tapi, aroma parfum wanita di bajunya, serta pesan-pesan singkat yang terbaca sekilas di ponsel suaminya, tidak bisa lagi diabaikan.
Foto ini adalah bukti paling nyata dari kecurigaannya selama ini. Ia tidak pernah mengonfrontasi suaminya soal ini. Tidak ada gunanya. Apa yang bisa dia katakan? Apa yang akan suaminya katakan sebagai pembelaan? Dia tahu, tak ada jawaban yang bisa memuaskannya.
Maka dia memilih diam. Diam, tapi penuh dengan perencanaan yang matang. Tidak ada amarah yang meledak, hanya ketenangan yang mengerikan.
Pukul 14.46, kembali ke rumah sakit
"Waktu kematiannya, 14.45," kata dokter, menghela napas pelan. "Kami sudah mencoba segala cara, tapi jantungnya berhenti."
Wanita itu tetap diam. Tangannya masih menggenggam foto lusuh itu, tanpa seorang pun yang tahu maknanya. Dokter meninggalkannya sendiri di ruangan itu.
Di luar, orang mungkin melihatnya sebagai wanita yang dikhianati takdir. Tetapi, hanya dirinya yang tahu betul bahwa ini bukan sekadar takdir. Ini adalah akhir dari permainan yang telah ia mulai berbulan-bulan lalu, ketika ia memutuskan untuk perlahan menghilangkan kehidupan suaminya dengan racun yang tak terdeteksi—sedikit demi sedikit, hingga suaminya tidak lagi bisa melawan.
Tidak ada ledakan amarah. Tidak ada teriakan. Hanya diam yang menyelimuti setiap langkahnya, sampai hari ini.