Levi, yang mendengar Morgan berbicara seperti itu, semakin merasa tidak enak untuk memarahinya, karena dia tahu bahwa membuat banner tidaklah murah. Levi hanya bisa menghela napas dan akhirnya pergi ke tempat duduknya, ditemani oleh kedua temannya, Nala dan Nachia.
"Lev," panggil Moreen.
Levi menatapnya. "Kenapa?"
"Tanda tangan proposal buat beli kebutuhan kelas. Nih," jawab Moreen, sambil memberikan kertas proposal serta pulpennya.
"Lah, walas aja belum tanda tangan," ucap Levi sambil mengernyitkan dahi.
"Gue bakal tanda tangan kalau walas duluan yang tanda tangan, sama sekretaris juga," lanjutnya, dengan nada sedikit tegas.
Raut wajah Moreen tampak cemberut saat mendengar jawaban yang keluar dari mulut Levi. Ia mengepalkan tangannya, menahan rasa amarah yang mulai membara di hatinya. Matanya sedikit menyipit, dan ia menarik napas dalam-dalam untuk meredam emosinya.
Moreen memutuskan untuk berbalik kanan dan berjalan menjauh dari Levi, berusaha meredam rasa bencinya yang semakin membara. Ia tahu, jika terus berada di dekatnya, perasaan negatif itu hanya akan semakin memburuk. Sambil melangkah, ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan diri agar tidak meledak di hadapan orang lain.
Orang-orang di sekitar kelas merasa kagum pada Levi karena berani menghadapi ketua kelas yang terkenal paling judes dan galak, bahkan dianggap lebih tegas daripada semua ketua kelas yang ada di sekolah itu. Tidak banyak yang berani berbicara langsung dengan Moreen, apalagi menentangnya. Namun, Levi berhasil melakukannya dengan tenang, membuatnya semakin dihormati oleh teman-temannya.
Bisikan-bisikan mulai terdengar di telinga Levi. Ia merasa heran mengapa orang-orang di sekitarnya mulai membicarakannya bersama Moreen. Padahal, menurutnya, ia hanya mengikuti aturan dan berbicara sesuai dengan SOP struktur kelas yang, ironisnya, telah diberikan oleh Moreen sendiri. Levi menghela napas, bingung kenapa tindakannya yang menurutnya biasa saja malah jadi bahan pembicaraan.
Sambil duduk, Levi mencoba mengabaikan bisikan-bisikan itu, meskipun rasa penasaran mulai mengusiknya. "Apa salah gue kali ini?" pikirnya dalam hati.
***
"Eh, guru, guru, guru!" teriak Lana panik.
Tanpa menunggu lama, semua siswa langsung bergegas duduk di kursi masing-masing. Moreen, yang sudah duduk dari tadi, segera menjalankan tugasnya sebagai ketua kelas.
"Hush, jangan berisik! Duduk semua, cepet!" ucapnya dengan nada tegas, sambil melirik ke arah beberapa siswa yang masih berdiri.
Ruangan yang tadi ramai seketika sunyi. Moreen pun kembali duduk lagi, setelah menyuruh semua nya untuk duduk.
Guru akhirnya datang, Shania Gracia, wali kelas mereka, yang mengajar pelajaran matematika. Melihat kedatangannya, Moreen segera mengambil inisiatif dan berteriak, "Everyone, stand up, please!"