"Ana, mau ikut jalan?" itu Joan, salah satu teman kelasku. Ia mengajakku untuk ikut menyusuri jalan bersamanya dan beberapa teman lain. Bukan tanpa alasan, mereka menyusuri jalan untuk kembali menuju rumah. Satu yang buatku terkejut adalah jangka waktu yang perlu mereka tempuh. Satu jam dengan jalan kaki.
Sempat kutanya mengapa mereka tidak menggunakan angkutan umum. Jawabannya klasik, untuk menghemat ongkos tentunya. Namun tetap saja, berjalan kaki selama satu jam? Menurutku itu hal gila, terlebih mereka melakukannya setiap hari. Bayangkan betapa kuat kaki mereka.
"Boleh," aku mengangguk menyetujui hal gila itu. Jujur saja, sedikit banyaknya aku penasaran dengan itu. Rute mana yang mereka tempuh, jajanan apa yang mereka beli di perjalanan, dan perbincangan apa yang keluar selama mereka berjalan.
"Yuk!" dengan perangai riangnya Joan berujar, yang lain mengangguk dan melangkah mengikutinya menjauh dari gerbang sekolah. Seakan Joan memiliki magnet yang dapat menarik orang lain mendekat padanya. Dirinya yang ramah, friendly, ceria, dan jujur membuat banyak orang menyukainya. Meski terkadang jujurnya membuat orang lain tertohok.
Setelah setengah perjalanan kutempuh dengan mereka, satu hal yang terjawab adalah apa saja topik yang keluar dalam perbincangan mereka. Tidak dapat didefinisikan, karena semua yang ada dalam kepala mereka, mereka utarakan. Banyaknya adalah tawa yang keluar. Namun aku tidak turut serta. Aku terlalu kalut karena melihat jam tanganku suah menunjukan pukul 18.00, yang seharusnya aku sudah berada di rumah. Habislah aku di tangan Ibu...
Perbincangan tetap berlanjut dengan topik yang silih berganti. Namun satu hal buatku janggal. Joan terdiam sejak beberapa menit lalu seraya meraba perutnya. Kupikir dirinya lapar, karena kini sudah jam makan malam. "Kamu laper, Jo?" tanyaku padanya yang langsung menoleh padaku.
Dirinya menggeleng. "Sakit. Kayaknya maag aku kambuh," dengan lirih ia berujar. Tentu aku panik mendengarnya, nyaris menginfokan hal itu pada teman yang lain jika Joan tidak segera mencekal lenganku. "Ga usah kasih tau mereka," Joan bertutur. Aku tahu, ia tak ingin yang lain khawatir padanya.
Kulirik sekilas teman lain yang berjalan agak jauh di belakangku dan Joan. Masih dengan tawanya mereka berbincang. Sedikitnya aku merasa jengkel. Seharusnya mereka memperhatikan keadaan temannya yang lain. Kembali aku menoleh untuk memastikan keadaan Joan. "Mau istirahat dulu?" aku bertanya padanya. Meskipun tidak mempan, karena tetap gelengan yang ia beri.
Teman-temanku di belakang yang masih asik bertukar canda tawa, Joan yang diam sembari meringis menahan sakit, dan aku yang masih kalut karena langit mulai menggelap. Bahkan dalam satu detik, ada banyak hal yang terjadi. Berbagai perasaan dari setiap manusia timbul hanya dalam waktu satu detik.
Bagaimana dengan keadaan dunia di liar sana? Satu detik yang berharga dapat menunjukan berbagai hal yang ada. Kesengsaraan, kesedihan, kebahagiaan, kecemasan, rasa sakit, rasa lega, dan masih banyak lagi.
Tetap bertahan sampai rumah ya, Joan.
♡˖꒰ Based on a true story -