"Mencintai itu ternyata rumit, ya? Seperti membaca aksara sansekerta, kita tak hanya harus memahami makna diri sendiri, tapi juga menafsirkan hati orang lain yang tersembunyi di balik tiap goresan takdir." • • • ~Happy reading~
Sesampainya di rumah, handphone-ku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Nafiz. Dengan rasa lelah, aku membuka pesan dari Nafiz. Tulisan di layar terasa sedikit kabur karena kelelahan, tapi aku masih bisa membaca pesannya dengan jelas.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setelah mengirim pesan terakhir itu, aku memutuskan untuk membersihkan diri sebelum tidur. Aku berjalan menuju kamar mandi, mencuci muka untuk menghilangkan rasa lelah.
Setelah selesai, aku mengenakan piyama yang nyaman, aku kembali ke kamar. Suasana malam yang tenang membantuku merasa lebih santai.
Aku meraih handphone untuk memastikan tidak ada pesan lain yang masuk, lalu menaruhnya di meja samping tempat tidur. Dengan perasaan segar, aku merebahkan diri, menarik selimut hingga menutupi tubuhku. Dalam sekejap, aku tertidur, membiarkan pikiran dan tubuhku beristirahat dari segala aktivitas hari ini.
Keesokan paginya, seperti biasa, suara adzan menjadi alarm favoritku. Bunyi merdu yang memanggil untuk beribadah itu membangunkanku dari tidur nyenyak. Dengan sedikit rasa malas, aku bangkit dan melangkah ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menyikat gigi, tidak lupa berwudhu sebagai persiapan sebelum beribadah.
Saat air mengalir di tangan dan wajahku, aku merasakan kesegaran yang membangkitkan semangat. Selesai berwudhu, aku bersiap untuk beribadah.
Setelah itu, aku memilih seragam dan mengenakannya, lalu bergegas ke meja makan untuk sarapan. Abi dan Ummi sudah menunggu di meja makan, keduanya tampak tenang dengan senyuman hangat yang biasa menyambutku setiap pagi.
Sembari menyantap makanan, Abi bertanya, "Gimana di sekolah, Nay? Ada yang perlu Abi bantu?"
Aku tersenyum dan menjawab singkat, "Alhamdulillah, semuanya baik-baik saja, Abi." Kami melanjutkan dengan percakapan ringan, berbicara tentang pelajaran, teman-teman, dan Proyek Karya Tulis Ilmiah hari ini.
Suasana pagi ini terasa begitu ringan, seperti beban kemarin hilang bersama terbitnya matahari. Aku merasa siap menjalani hari ini dengan semangat baru.
Hari-hariku seperti biasanya terasa menyenangkan terkadang juga memuakkan, tetapi namanya juga hidup banyak ujiannya.
Beberapa hari berlalu, aku dan Nafiz sudah jarang bertukar pesan. Aku memang mulai membatasi hubungan kami, meskipun Nafiz kadang berusaha menghubungiku, seolah-olah dia masih menyukaiku. Hingga akhirnya, kami bertemu lagi.
Hari itu, Nafiz berada di perpustakaan yang baru lagi. Aku memang berencana ke sana untuk menambah riset tentang karya tulis ilmiahku, seperti waktu itu. Sebelumnya, aku memberitahu Nafiz bahwa aku akan ke perpustakaan dan mengajak temanku, Rizal, yang kebetulan juga ingin ke sana. Aku dan Rizal baru saja dekat, hanya sebatas pertemanan biasa.
Ketika kami tiba, Nafiz sudah menungguku di tangga bersama temannya, Defan. Setelah berkenalan dengan Defan, kami menghabiskan waktu di perpustakaan, mengobrol dan berbagi cerita ringan. Ketika waktu shalat Dzuhur tiba, kami bergantian untuk shalat. Saat Nafiz dan Rizal sedang shalat, aku mengobrol dengan Defan dan menanyakan tentang riwayat sekolahnya. Ternyata, Defan satu pesantren juga satu asrama dengan Nafiz, dan lebih mengejutkan lagi, aku dan Defan memiliki hobi yang sama. Defan juga mengikuti taekwondo. Aku senang mengenal teman baru yang ternyata memiliki kesamaan hobi denganku.
Tak lama kemudian, Nafiz dan Rizal kembali. Kami melanjutkan obrolan sampai akhirnya memutuskan untuk pulang. Sebelum pulang, Rizal mengajak kami untuk membeli makanan di dekat pusat kota, dan kami pun setuju.
Di pusat kota, aku bersama Rizal, sedangkan Nafiz dan Defan berjalan berdua. Sambil menunggu mereka, aku dan Rizal mengobrol santai. Dari kejauhan, aku melihat Nafiz dan Defan datang. Wajah Nafiz terlihat sedikit kesal, tapi aku mencoba mengabaikan rasa penasaran dan membuka obrolan.
"Mau beli apa dulu? Banyak banget jajanannya."
Semua terdiam sejenak sebelum Defan menjawab, "Beli es kelapa aja gimana? Terus nanti beli gorengan sama makanan penutup lainnya."
Kami semua setuju. Saat Nafiz hendak membeli gorengan, aku bilang bahwa aku tidak akan membelinya karena tidak terlalu menginginkannya. Namun, Rizal bersikeras.
"Nggak papa, beli aja dulu buat Nay. Dibungkus ya, nanti aku yang bayar, Naf."
Aku merasa tidak enak dan mencoba menolak. "Eh, nggak papa, ga usah. Naf, jangan dibeliin aja. Emang lagi gak pengen. Nanti malah gak dimakan, takut mubazir."
Akhirnya Rizal menurutiku. Setelah itu, kami memutuskan untuk pulang. Karena sudah mulai gelap dan hujan rintik-rintik, aku akhirnya pulang bersama Rizal. Dia mengantarku sampai rumah, dan bahkan meminjamkan jaketnya agar aku tidak terlalu basah kehujanan. Aku berterima kasih kepadanya sebelum masuk rumah, aku juga menawarkannya untuk berteduh di rumahku, tetapi Rizal menolak karena waktu sudah sangat larut baginya.
Sesampainya di rumah, aku membersihkan diri dan merasa bersyukur tidak terlalu kehujanan berkat jaket Rizal. Setelah selesai, aku merebahkan diri di kasurku yang nyaman. Tak lama kemudian, ponselku bergetar. Ada pesan masuk.
Bersambung...
~Thank you for reading~
~See u in the next chapter, love you all guys <3~
***
~Jangan lupa vote, comment and stay tunedin my stories, dukungan kalian sangat berarti bagi aku dan perkembangan cerita aku ^^~