Chapter 10 ; Histeria

330 67 3
                                        

HAPPY READING!

Mata Taufan melebar, tangannya menggenggam ponsel erat, hingga buku—buku jarinya memutih. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya selama beberapa detik, hanya napas tercekat yang terdengar.

"Taufan, kenapa? Kok tiba—tiba diam?" tanya Duri yang melihat perubahan ekspresi Taufan, terlebih lagi Taufan biasanya memang tidak termasuk dalam kategori orang pendiam.

Tanpa menjawab, Taufan memasukkan ponselnya kembali ke saku dan berbalik cepat, meninggalkan mereka tanpa sepatah kata. Ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kepanikan, tetapi ia tidak memberikan penjelasan apapun kepada teman—temannya.

Halilintar yang melihat itu merasa ada yang tidak beres, dia lumayan peka soal lingkungan sekitarnya namun tidak dengan dirinya sendiri.

"Taufan!" panggil Halilintar, bingung dengan kepergian mendadak temannya itu. Namun, Taufan terus berjalan cepat, tidak menoleh kemanapun.

"Eh, kenapa dia? Ada apa sih?" tanya Blaze sambil mengernyit, merasa aneh dengan situasi yang tiba—tiba berubah. Perasaannya tadi tidak begitu, Taufan memang gampang mood swing orangnya tetapi kalau tiba—tiba jadi panik rasanya aneh juga.

Halilintar langsung memutuskan untuk menyusul Taufan tanpa berpikir panjang, "aku nyusul dia dulu.".

Duri mengangguk, memberikan isyarat agar Halilintar berhati—hati, "oke, cepet balik lagi ya, Hali!".

Sedangkan Gempa hanya terdiam, otaknya masih memproses apa yang sedang terjadi.

Halilintar berlari mengikuti Taufan yang sudah hampir menghilang dari pandangannya di sepanjang garis pantai. Pikiran Halilintar penuh dengan pertanyaan, kenapa Taufan begitu mendadak pergi? Apa yang terjadi? Tidak biasanya Taufan bersikap seperti ini tanpa mengatakan apapun.

Saat Halilintar akhirnya bisa menyusul Taufan yang sudah sampai di pinggir jalan, dia menarik lengan sahabatnya.

"Taufan, tunggu! Ada apa? Kenapa buru—buru?" napas Halilintar terdengar sedikit berat setelah berlari mengejar.

Taufan berhenti sejenak, menunduk, dan mencoba mengendalikan emosinya, "Hali ... Papa, meninggal." dengan suara yang terputus—putus, dia akhirnya berbicara.

Kata—kata itu langsung menghantam Halilintar seperti petir di siang bolong. Dia terdiam, tidak tahu harus merespons bagaimana.

"Kamu gak lagi bercanda kan?" Halilintar akhirnya bisa bicara, suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.

Taufan mengangguk pelan, matanya mulai berkaca—kaca. "Kak Beliung ngabarin lewat pesan tadi, mana mungkin aku bercanda. Aku harus pulang sekarang ...".

"Aku ikut. Gak mungkin aku biarin kamu pergi sendirian dalam keadaan kayak gini." ucap Halilintar tanpa pikir panjang.

Taufan tidak membantah. Meski tidak berkata apa—apa lagi, dia merasa sedikit lega bahwa Halilintar ada di sisinya saat ini. Mereka berdua berjalan cepat menuju motor yang terparkir di parkiran yang seharusnya, meninggalkan suara ombak dan tawa teman—teman mereka di belakang.

Di kejauhan, Solar dan Ice yang masih duduk di ayunan memperhatikan kepergian Halilintar dan Taufan dengan sedikit kebingungan, "mereka kenapa?" tanya Solar, merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Ice hanya menggeleng, tidak tahu pasti apa yang terjadi. Ia juga tidak menjawab karena tidak tahu apa yang harus dikatakan.

Solar terdiam, matanya masih menatap Halilintar dan Taufan yang telah menghilang dari tempat itu. Rasanya ada yang salah, tapi ia tidak bisa menepis perasaan itu.

RANTAI LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang