E.1.3

140 26 3
                                    

Kembali ke meja makan, Daka sudah menambah nasi dan tempe ke piringnya. Dia emang pecinta tempe sejati. Gelar duta tempe patut disampirkan ke bahunya atas dedikasinya mengonsumsi tempe sehari-hari. Gue tersenyum sambil terus mikirin Alana. Tiap kali gue inget senyumannya, ada rasa hangat yang menjalar di dada gue, sekaligus rasa sakit karena gue tahu dia mungkin nggak ngerasa hal yang sama ke gue.

"Anjir, enak nih!" Daka ngomong sambil ngunyah. "Lo beneran punya bakat masak. Nggak kepikiran jadi koki? "

Gue ketawa kecil, tapi nggak bener-bener nanggepin serius. "Yang bener aja, masa tempe goreng saos jamur gini bikin gue alih profesi jadi koki?"

"Serius, Bro!" kata Daka, sambil ngambil potongan tempe lagi. "Koki itu profesi seksi. Lo liat aja novel cewek banyak bikin tokoh utama cowoknya berprofesi koki. Gue malah belum ketemu yang usahanya olshop kayak lo."

Gue cuma terbahak, merasa sedikit lega karena setidaknya ada yang menikmati masakan gue, walau rada kampret omongan si panjul. Bisa-bisanya dia meledek pilihan bisnis gue. Gini-gini, bisnis gue dimulai dari riset panjang. Gue nggak bikin usaha asal cap cip cup kembang kuncup. I've put my heart and soul into building this business from the ground up.

Sambil ngeliatin Daka yang lagi makan, gue nggak bisa nggak mikirin gimana hidup gue berubah dalam beberapa bulan terakhir. Dari tinggal di rumah yang penuh konflik, sampai akhirnya gue tinggal di apartemen Daka ini sebagai penyewa kamar. Hubungan gue sama Daka sebenarnya nggak terlalu deket. Kita lebih sering ngobrol sekedarnya, dan masing-masing sibuk dengan urusan sendiri. Dia orang yang baik dan gue bersyukur Alana ngenalin gue ke dia, walau kadang Daka ini rada you know... malesin.

Ngomong-ngomong soal Alana, gue masih terus mikirin dia. Kadang-kadang, gue ngerasa kayak pengecut karena nggak pernah nyatain perasaan gue. Tapi di sisi lain, gue nggak mau ngorbanin persahabatan kita yang udah berjalan bertahun-tahun. Gue nggak tahu gimana perasaan Alana sebenarnya, dan gue juga nggak berani nebak-nebak. I'm afraid that revealing my feelings might push her away, and in the end, I could lose both my friendship and my love.

"Mikirin apa, Bro?" tanya Daka tiba-tiba, ngebangunin gue dari lamunan.

"Enggak, cuma mikirin hidup aja," jawab gue sambil mengangkat bahu singkat. Nggak mungkin gue bilang kalau gue lagi mikirin Alana. Gue nggak tahu apa Daka udah tahu kalau gue naksir Alana, tapi sejauh ini dia nggak pernah nyebut-nyebut soal itu. Gue lebih milih buat nyimpen perasaan ini dalam hati daripada ngebahasnya sama orang lain, apalagi sama Daka yang nggak terlalu deket sama gue.

"Yah, hidup emang penuh kejutan," kata Daka sambil meraih potongan tempe terakhir. "Siapa yang nyangka gue bakal tinggal bareng lo dan makan masakan lo setiap pagi?"

Gue ketawa kecil. "Gue juga nggak nyangka bakal masak TERUS buat lo." Gue sengaja ngasih penekanan biar Daka sedikit sadar di sini gue selalu masakin dia sarapan, tapi belum pernah gue makan masakan dia. Padahal dia ini pengusaha foodtruck yang viral dan langganan food vloggers, nyatanya, gue belum pernah sesendok pun mencicip mahakaryanya.

"Gue serius, Bro," kata Daka sambil nyengir. Dia beneran nggak menangkap kode gue. "Lo punya bakat. Ntar kalau lo capek kerja kantoran, lo bisa gabung sama gue di foodtruck."

Gue cuma ngangguk sambil tersenyum. Tawaran Daka itu kedengeran aneh, tapi di sisi lain, mungkin ada benernya juga. Gue nggak tahu apa yang bakal terjadi di masa depan. Seenggaknya sekarang, gue punya tempat yang bisa gue sebut rumah, meskipun cuma apartemen di seberang Hutan Kota.

Setelah selesai makan, Daka balik ke kamarnya buat siap-siap pergi kerja. Gue tinggal sendirian di dapur, ngerapihin piring dan teflon yang gue pake tadi. Ada satu aturan yang gue terapkan secara nonverbal. Gue meniadakan Daka buat beres-beres sehabis sarapan. Terakhir kali dia menawarkan cuci alat makan dan bersihin meja, gue menemukan dia lupa matiin kran air dan sudut meja masih kotor bekas telapak tangan. Piring dan wajan diletakan di sisi wastafel, lupa dia kembalikan ke tempat mengeringkan. Alhasil, gue yang merapikan ulang dan bikin gue telat berangkat kerja. Daka juga ikutan telat karena dia bersiap kerja belakangan. Mending gue aja yang kerjakan semua, sementara dia bersiap.

Gue balik ke kamar, ngebuka tirai jendela dan ngeliatin langit. Kayak biasa, langit Jakarta tampak berkabut dari lantai 30. Jalanan sudah ramai lancar oleh kendaraan yang tampak super mini. Pikiran gue kembali ke Mama. Gue kangen sama dia, kangen ngobrol bareng, kangen ngerasain masakannya. Gue menyambar ponsel di nakas dan mengetikkan pesan singkat.

Ma, lagi apa?

Eld, eyang meninggal semalam. Mama lagi di jalan ke rumah Menteng. Kamu ke sini ya.

What?

RoomiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang