"Aduh akhirnya selesai juga kelas hari ini, capek banget sumpah!" teriak Risa, tanpa malu.
"eh, ar ada kak aksa!" Araya terkejut mendengar perkataan dari risa, mungkin jika dia mengatakan dengan nada pelan tidak apa-apa, tetapi ini tidak, dia berteriak sambil menunjuk kearah aksa yang sedang berjalan.
Araya menutup muka nya dengan tangan nya, sepertinya Araya sangat ingin menghilang saat itu juga, karena ulah teman nya itu.
"ris lu mau gua tampol ya?" ucap Araya sambil menahan malu.
"Nggalah, gua ngga mau. siapa coba yang mau di pukul."
Araya hanya tersenyum kecut, menahan diri untuk tidak memukul teman nya yang sangat amat bodoh ini.
Araya menarik teman nya untuk pergi dari tempat itu sekarang juga sebelum kejadian memalukan terjadi lagi.
Sekarang mereka sudah sampai di depan kampus menunggu sopir yang akan menjemput nya. Araya dan risa tidak suka membawa kendaraan untuk pergi ke kampus mereka lebih suka di antar jemput, mereka bilang jika membawa kendaraan itu akan menghabiskan tenaga mereka saja.
Tidak lama mereka menunggu akhirnya mereka di jemput dengan sopir mereka masing-masing.
Araya masuk ke dalam mobilnya meninggalkan gedung kampus yang amat besar.
"pak Bram papa udah pulang ke rumah belum?" Araya bertanya kepada sopir nya.
"pak Pandita belum pulang non, masih banyak kerjaan katanya."
Araya terdiam mendengar jawaban dari pak bram. Sepertinya Araya merasa sedih, karena sifat papanya yang sangat berubah.
Semenjak mama Araya meninggal, papa Araya sangat berubah. Mulai dari sifat nya yang dulu periang sekarang menjadi lebih pendiam, dan dia juga jarang sekali pulang ke rumah entah itu karena pekerjaan atau memang dia tidak sanggup melihat rumah itu kosong tanpa ada istrinya di dalamnya.
Lima belas menit berlalu, sekarang Araya sudah sampai di rumah.
Rumah yang sangat besar dan indah. dinding yang berwarna putih dengan sedikit warna emas yang membuat bangunan itu semakin terlihat mewah, dan halaman yang di hiasi dengan bunga dan rumput yang terawat, ada beberapa kursi yang terletak di halaman depan rumah itu, kursi yang selalu membuat araya teringat tentang mama nya, karena mereka bertiga sering sekali duduk di kursi itu, bercerita tentang hari yang dijalani, apakah baik-baik saja atau tidak.
Araya berjalan menuju kamarnya, melewati kesunyian di setiap ruangan.
Dia duduk di pinggir ranjangnya, merenungi nasib papa nya dan dirinya sendiri, karena belum bisa mengikhlaskan kepergian Melina atau lebih tepatnya mama dari Araya dan istri dari Pandita, papa Araya.
"andai saja aku bisa memutar waktu, aku ingin menyelamatkan mama dari kematiannya" Araya bermonolog.
Araya mulai meneteskan air mata, lalu berubah menjadi tangisan yang di sertai dengan isakkan. dia sedang merindukan sosok ibu, dia ingin di peluk dan, di elus jika sedang menangis, namun dia tidak bisa mendapatkan itu semua.
Mungkin sudah lebih dari satu jam suara tangisan itu berbunyi, dan akhirnya suara tangisan yang kencang itu semakin mengecil, dan sekarang sunyi tak ada suara. Sepertinya Araya tertidur di tengah tangisannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
23:59 rain times
Fantasy"ar kalau lu bisa kembali ke masa lalu, lu bakal ngapain?" "nyelamatin mama gua dari kematiannya," "Ngga masalah kalau gua hidup sederhana dengan rumah yang ngga terlalu besar asalkan ada mama di sisi gua." setelah sekian lama araya kehilangan ibun...