2. Deja Vu

33 20 9
                                    

🍁Don't forget to leave the orange star :)🍁

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🍁Don't forget to leave the orange star :)🍁

***

Nolan melamun dalam ruang kerjanya. Wajah tampan yang jarang sekali dihinggapi senyum terlihat begitu datar dan lelah. Guratan tegas yang menghiasi menunjukkan kalau dia merupakan pakarnya pekerja keras.

Jam dinding berbahan kayu pinus tergantung di belakangnya. Jarum jarumnya terus berdetak menuju angka satu.

Ditemani suara air conditoner yang berdesing lembut, jam tadi saling berkejaran menuju waktu makan siang.

Nolan bergeming. Tidak berniat sedikitpun meninggalkan ruangan itu untuk turun ke ruang makan. Ia terbiasa melewatkannya.

Sebenarnya kali ini bukan hanya makan, komputer yang berkedip berkali kali di hadapannya, menerima pesan serta berbagai laporan dari bawahannya pun tidak ia gubris.

Pandangan pria itu terus tertuju pada sebuah pigura kecil yang berdiri di sudut meja kerja di sebelah jam pasir milik ayahnya dulu.

Ekspresinya datar, namun kedua matanya tidak mampu menyembunyikan sorot kesedihan sekaligus kerinduan yang mendalam. Bukan hanya pada tujuh sosok yang tersenyum lebar disana, tapi juga keadaan serta kebahagiaan yang ada ketika foto keluarga itu diambil.

Kini, tidak ada lagi yang tersisa selain memori pilu di sudut terjauh hati. Kedua orang tuanya yang memeluk dia serta keempat adiknya pergi meninggalkannya tanpa ucapan perpisahan yang berarti sama sekali.

Juga Jake, salah satu anak paling ceria diantara mereka. Pemilik senyum termanis itu seolah melambai pada Nolan lewat tatapannya di foto, ikut pergi bersama orang tua mereka menuju tempat yang tidak bisa dijangkau oleh pria itu.

Jika bisa memutar waktu, sungguh, lebih baik Nolan saja yang pergi. Dengan begitu setidaknya ada orang orang tua mereka hingga masih dapat mempertahankan kebahagiaan yang dulu sempat hinggap pada keluarganya.

Atau kalau memungkinkan, Nolan ingin mencegah insiden mengenaskan itu supaya tidak datang menimpa. Jadi keluarganya tidak perlu hancur, tidak akan ada keretakan yang muncul, atau penderitaan lain yang kian mendekap sepanjang waktu bergerak.

Setidaknya tidak akan ada jarak yang menjerat antara satu sama lain.

Setidaknya..

Setidaknya..

Tok.. tok.. tok..

Lamunan Nolan terputus kala pintu ruangannya diketuk. Diikuti dengan kenop besi yang diputar dari luar, pintu kayu itu perlahan terbuka.

“ Kak?”

Nolan membuang nafas kasar, menyesal telah menoleh begitu tahu ternyata Riki yang datang. Tapi ia hanya diam, tidak melarang anak itu masuk, lebih tepatnya tidak memedulikan sama sekali apa yang hendak Riki lakukan. Ia mengembalikan tatapan ke atas meja.

Sama seperti Nolan yang mengacuhkannya, Riki pun tidak mengindahkan sikap itu dan tetap melangkah mendekat sambil membawa nampan berisi seporsi makan siang dan air minum.

“ Aku tahu kakak sibuk, tapi jangan sampai melewatkan makan.” Tukasnya.

Tidak ada sahutan. Riki tersenyum lalu meletakkan nampan ke atas meja.

Ia tahu kalau tidak begini Nolan tidak akan mau makan. Dan dia harus mengantarnya sendiri karena pelayan rumah selalu takut saat masuk ke ruang kerja majikan mereka yang terkenal dingin dan emosian.

Meski sebenarnya anak itu juga gentar mendatangi kakak tertuanya, namun kepedulian dan rasa sayangnya yang lebih besar mengalahkan yang lain, membuatnya terus berusaha melakukan apapun untuk memastikan kakaknya baik baik saja, termasuk memperhatikan makan siangnya.

“ Oh ya, kak. Hari ini teman temanku kemari. Kakak mau menyapa mereka?” Tanya Riki, basa basi.

Tentu saja tidak, bodoh. Nolan mendelik, ia sama sekali tidak sudi membuang waktu untuk melakukan hal semacam itu. Apa lagi mengenai sesuatu yang bersangkutan dengan si bungsu.

“ Tinggalkan saja makanannya dan pergi dari sini.” Desis Nolan, mengusir Riki secara kasar.

Riki hanya mengangguk patuh, namun sebelum ia menutup pintu, kepalanya kembali menyembul ke dalam, berkata seraya menunjukkan senyum lebar dari wajah memarnya.

“Habiskan makan siangnya, kita semua tahu kakak selalu bekerja keras supaya kami bisa hidup dengan baik. Jadi jangan lupa untuk merawat diri kakak sendiri, oke?”

Setelah itu, tanpa menunggu respon dari Nolan, Riki menutup pintu selembut mungkin, pergi meninggalkan wajah tercenung Nolan. Tidak menyangka Riki akan mengatakan hal itu padanya.

Ada apa dengan Riki? Kenapa mendadak dia jadi banyak bicara? Biasanya dia hanya menyapa takut-takut lalu segera pergi setelah meletakkan nampannya, bahkan tanpa diusir.

Tapi tadi? Bahkan Nolan bisa melihat dengan jelas senyum Rki yang lebar. Membuat dia sadar kalau senyuman itu merupakan senyum paling sempurna yang tidak pernah Riki tunjukkan setelah kematian Jake dan kedua orang tua mereka.

Apa telah terjadi sesuatu yang tidak ia ketahui?

Ah, khayalan Nolan terlalu tinggi. Kenapa pula ia harus memusingkan kelakuan adiknya itu.

Nolan kembali menatap objek favoritnya lagi. Pigura kecil berisi foto keluarga utuhnya yang tidak pernah disentuh.

Hanya butuh satu detik hingga matanya menangkap sosok Riki disana, tersenyum riang memperlihatkan gigi ompongnya sementara bahu kecilnya dirangkul oleh Jake dan Nolan.

Senyum itu. Kedekatan itu.

Nolan memejamkan mata. Dadanya sakit melihatnya, menyadari momen masa lalu yang hilang ditekuk oleh tahun tahun menyesakkan setelahnya, merenggut segala hal yang mereka miliki termasuk kasih sayang satu sama lain. Menyisakan serpihan luka tanpa obat dan kebencian yang ditimbulkan oleh kesedihan berkepanjangan.

Ia ingat sekali malam setelah insiden itu menimpa mereka. Tanpa sepatah kata pun, ia langsung menampar wajah mungil Riki yang masih ketakutan. Membuat anak itu meringkuk di pojokan.

Hawa dingin mencekam yang tidak pernah bisa dia lupakan, tangisan Ray, seruan marah Dylan.. lalu.. Tubuh kaku ketiga anggota keluarganya di atas brangkar.

Belasan tahun kejadian mengenaskan itu meninggalkan mereka, namun sesak yang ia rasakan enggan menghilang barang secuil. Mengungkung mereka dalam sebuah jurang kesedihan. Menciptakan kelokan tajam dalam keluarga mereka, kehancuran tak terelakkan.

Keretakan yang sebelumnya tidak pernah bisa dibayangkan tiba tiba menghujam, memisahkan diri masing masing. Saudara hanya omong kosong, tanpa disadari, perlahan mereka saling menarik diri dari satu sama lain, hanya menyapa dan mengobrol sekadarnya.

Bagaimanalah bisa kembali lagi seperti dulu jika hati mereka tak utuh lagi?

Kepergian ayah, ibu, dan Jake yang tidak terduga tidak hanya meninggalkan kesedihan serta kebencian pada Riki, namun juga terkikisnya perasaan sayang pada sosok yang selama ini disebut sebagai 'saudara'.

Nolan memilih untuk membentengi diri dengan terus sibuk bekerja mengembangkan perusahaan ayahnya, Ray dan Dylan memiliki dunia tersendiri dimana mereka tidak bisa lagi bertukar candaan dan ejekan seperti dulu.

Ray berdiri jauh di atas dimensi berbeda, begitu juga dengan Dylan, lingkaran pertemanannya pun mungkin lebih membuat dia bisa menyebutnya sebagai rumah, alih alih keluarganya yang asli.

Dan Riki.

Pria berwajah dingin itu menggebrak meja, kepalanya berdenging, ruangan disekelilingnya mendadak menguap, hitam. Putih. Hitam. Merah.

Kosong.

~🍁•>🧸<3☃️°°

highway 1009Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang